Minggu, 11 Mei 2008

Pendekatan Konseling


KONSELING PSIKOANALISIS

Drs. Susilo Rahardjo, M.Pd.

Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus

0.0. BIOGRAFI

Freud lahir pada tanggal 6 Mei 1856 di kota yang sekarang dikenal sebagai Pribor, Czechoslovakia (Marx & Hillix 1978:243). Dahulu kota tersebut disebut Freiberg Austria. Freud meninggal pada tanggal 23 September 1939 di London. Selama hampir 80 tahun Freud tinggal di Wina Austria, dari keluarga keturunan Yahudi yang keluarga kurang mampu. Ayahnya bernama Jakob Freud. Sigmund Freud merupakan anak sulung dari keluarga yang terdiri dari tiga orang laki-laki dan lima orang wanita. Ayahnya sangat keras dan otoriter, karena itu pada masa kanak-kanak dia benci kepada ayahnya. Sebaliknya ia memiliki perasaan seksual terhadap ibunya yang cantik dan menarik.

Setelah lulus dari fakultas kedokteran universitas Wina (1873 – 1881) dia melakukan praktek sebagai dokter, dan penyelidikan di bidang neurologi, serta mengadakan spesialisasi dalam perawatan terhadap penderita gangguan syaraf. Untuk meningkatkan kecakapannya, Freud pergi ke Perancis belajar selama setahun kepada seorang ahli penyakit jiwa terkenal yaitu Jean Charcot dalam teknik-teknik penyembuhan penderita histeria dengan menggunakan metode hipnotis, tetapi ia tidak puas dengan hasil metode itu. Ketika ia mendengar bahwa Joseph Breuer, seorang dokter di Wina, mempergunakan metode dengan mengajak pasien berbicara, dan berhasil, Freud tertarik untuk belajar kepada Breuer. Pada tahun 1895 Freud dan Breuer menerbitkan karya bersama yaitu Studies in hysteria, yang merupakan materi paling awal yang harus dipelajari dalam pendidikan psikoanalisis.

Akan tetapi keduanya saling bertentangan pendapat mengenai pentingnya faktor seksual dalam histeria. Freud mengemukakan bahwa konflik-konflik seksual merupakan sebab daripada histeria, sedangkan Breuer berpandangan lain. Sejak perpisahan itu Freud mengembangkan gagasan-gagasanya yang akhirnya menjadi dasar dari teori psikoanalisis. Psikoanalisis merupakan sebuah model perkembangan kepribadian, filsafat tentang sifat manusia, dan metode psikoterapi.

0.1. PENGANTAR

0.1.1. Hakikat Manusia

Tentang sifat manusia, pandangan Freud pada dasarnya adalah deterministik. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia ditentukan oleh kekuatan-kekuatan irrasional, motivasi dan peristiwa, dorongan biologis serta dorongan insting dan peristiwa psikoseksual tertentu pada masa enam tahun pertama kehidupannya.

Menurut pendekatan aliran Freud, insting adalah sentral. Insting adalah sumber energi psikis yang dibawa sejak lahir. Tujuan insting yaitu mempertahankan hidup dan jenis, yang menjadi sumber insting yaitu kondisi jasmaniah atau kebutuhan. Obyek insting, adalah segala aktivitas yang mengantarai keinginan dan terpenuhinya keinginan insting itu. Adapun pendorong atau penggerak insting adalah kekuatan insting itu yang tergantung kepada besar kecilnya kebutuhan. Azas insting adalah memperoleh keenakan dan menghindari ketidakenakan.

Jenis insting dapat dikelompokkan menjadi dua (Marx & Hillix 1978:250-251; Corey 1986:12; Corey 1995:140; Suryabrata 1983:157) yaitu insting hidup dan insting mati.

  1. Insting Hidup

Insting menurut pendekatan aliran Freud, adalah sentral. Meskipun pada mulanya menggunakan istilah libido untuk menyatakan energi seksual, dia akhirnya memperluas istilah itu dengan energi dari semua insting kehidupan. Fungsi insting hidup adalah melayani maksud individu untuk tetap hidup. Bentuk-bentuk utama dari pada insting hidup ialah insting makan, dan insting minum. Insting hidup diorientasikan pada pertumbuhan, perkembangan, dan kreativitas. Freud memasukkan semua tindakan yang menimbulkan kesenangan ke dalam konsep insting hidup. Menurut Freud, tujuan hidup adalah untuk mendapatkan kesenangan dan menghindari ketidakenakan. Freud mengakui adanya bermacam-macam bentuk insting hidup, namun yang paling penting adalah insting seksual.

Fungsi insting seksual adalah melayani maksud individu untuk memperpanjang atau mempertahankan jenisnya. Sebenarnya insting seksual bukanlah hanya untuk satu insting saja, melainkan sekumpulan insting, karena ada bermacam-macama kebutuhan jasmaniah yang menumbuhkan keinginan-keinginan erotis.

  1. Insting Mati

Insting mati disebut juga insting agresif (merusak). Freud berpendapat bahwa setiap orang tanpa disadari berkeinginan untuk mati atau mencederai diri sendiri atau orang lain. Menurut pendapat ini baik dorongan seks maupun dorongan agresif merupakan determinan yang kuat, mengapa orang berperilaku seperti apa yang mereka lakukan.

0.1.2. Konsep Kunci Kepribadian

0.1.2.1. Struktur Kepribadian

Menurut pandangan psikoanalisis, kepribadian terdiri atas tiga sistem atau aspek, yaitu id, ego dan superego (Corey 1995:141-142).

Id adalah komponen biologis sebagai sistem kepribadian yang orisinil. Id berisikan hal-hal yang dibawah sejak lahir (unsur-unsur biologis), tempat insting-insting dan energi psikis. Apabila energi psikis ini dapat meningkat oleh karena perangsang luar maupun dalam. Apabila energi itu meningkat akan menimbulkan tegangan dan pengalaman tidak enak, segeralah Id mereduksikan energi itu untuk menghilangkan rasa tidak enak itu, kembali ke kondisi homeostatik. Dengan dikendalikan oleh prinsip kesenangan, maka Id adalah tidak rasional, tidak bermoral, dan didorong oleh suatu pertimbangan yaitu demi terpenuhinya kepuasan. Id hanya berkeinginan, tidak pernah berfikir, dan berada di luar kesadaran. Id sebagai kepribadian yang manja karena tidak pernah dewasa.

Ego adalah komponen psikologis, yang mengadakan kontak dengan dunia realita yang ada di luar dirinya. Ego berperan memerintah, mengendalikan dan mengatur kepribadian. Ego berperan sebagai polisi lalul lintas bagi Id, super ego dan dunia luar, ia bertindak sebagai penengah antara insting dengan lingkungan sekitar. Dengan diatur oleh prinsip realitas, ego berfikir logis dan berlaku realistis serta memformulasikan rencana tindakan bagi pemuasan kebutuhan. Hubungan ego dan id, adalah ego sebagai tempat intelengsi dan rasionalitas yang mengerem dan mengendalikan nafsu membabi buta si id. Kalau Id hanya tahu akan realitas subyektif, maka ego membedakan antara sosok mental dan benda di dunia luar. Superego merupakan komponen sosial dan sebagai aspek moral kepribadian serta sebagai aspek moral seseorang.. Fungsinya ialah menentukan apakah sesuatu benar atau salah, pantas atau tidak, susila atau tidak, baik atau buruk. Superego mewakili yang ideal, bukan yang riil, dan sasaran yang diperjuangkan adalah bukan demi kesenangan melainkan demi kesempurnaan. Superego berperan sebagai wadah impuls Id, untuk menghimbau ego agar menggantikan tujuan yang moralistik dengan yang realistik serta memperjuangkan kesempurna-an. Superego berisikan “Conscientia” dan “Ich ideal”. Conscientia menghukum orang dengan memberikan rasa dosa, dan Ich ideal menghadiahi orang dengan rasa bangga dan rasa mencintai diri sendiri.

0.1.2.2. Kesadaran dan Ketidaksadaran

Sumbangan Freud yang paling besar adalah konsepnya tentang kesadaran dan ketidaksadaran, yang merupakan kunci untuk memahami perilaku dan memahami problem kepribadian (Corey 1995:142).

Freud menganggap bahwa kesadaran merupakan bagian terkecil dari keseluruhan jiwa. Freud memisalkan psycho itu sebagai gunung es yang mengapung di lautan, yang bagian terbesarnya berada di bawah permukaan air laut. Yang ada diatas permukaan air itu menggambarkan kesadaran, sedangkan yang berada di bawah permukaan air laut menggambarkan ketidaksadaran. Di dalam ketidaksadaran itulah tersimpan pengalaman-pengalaman, ingatan-ingatan, bahan-bahan yang direpresi sebagai kekuatan-kekuatan dasar yang mendorong pribadi. Oleh karena itu untuk dapat memahami kepribadian manusia, tidaklah cukup dengan hanya melalui psikologi kesadaran/psikologi permukaan saja, tetapi juga harus mengembangkan psikologi ketidaksadaran/psikologi dalam. Setelah menjelajah ketidak sadaran selama ± 40 tahun, Freud berhasil mengembangkan teori kepribadian yang besar sekali pengaruhnya dalam lapangan psikologi.

0.1.2.3. Kecemasan

Kecemasan adalah keadaan tegang yang memaksa individu untuk berbuat sesuatu. Kecemasan berkembang dari konflik antara Id, Ego dan Superego mengenai kontrol atas energi psikis yang ada. Fungsi kecemasan adalah memperingatkan adanya bahaya yang segera datang.

Freud (Corey 1995:143) mengemukakan adanya tiga macam kecemasan, yaitu kecemasan realita, neurotik, dan moral.

a. Kecemasan realistis, adalah rasa takut akan bahaya yang datang dari dunia luar, dan deraja kecemasan ini sesuai dengan tingkat kecemasan yang nyata.

b. Kecemasan neurotik, adalah kecemasan kalau-kalau insting akan keluar jalur dan menyebabkan seseorang berbuat sesuatu yang dapat dihukum.

c. Kecemasan moral, adalah kecemasan terhadap hati nuraninya sendiri. Orang yang hati nuraninya berkembang dengan baik, cenderung merasa berdosa apabila mereka berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma moral.

0.1.2.4. Mekanisme Pertahanan Ego

Mekanisme pertahanan ego mampu membantu seseorang dalam hal menangani kecemasan. Pertahanan yang digunakan seseorang tergantung pada tingkat perkembangan dan tingkat kecemasannya. Mekanisme pertahanan memiliki dua ciri, yaitu mengingkari kenyataan atau merusaknya. Beroperasinya pada tingkat ketidaksadaran.

Corey (1986:14-16; 1995:143-146) menjelaskan bahwa ada beberapa bentuk mekanisme pertahanan ego yaitu represi, memungkiri, pembentukan reaksi, proyeksi, penggeseran, rasionalisasi, sublimasi, regresi, introyeksi, identifikasi, kompensasi, ritual dan penghapusan.

1. Represi/Penekanan

Freud menerangkan bahwa represi itu adalah tindakan yang tanpa dikehendaki untuk menghilangkan sesuatu dari kesadaran. Diperkirakan sebagian latar belakang dari peristiwa yang menyakitkan pada masa lima tahun pertama dari kehidupan diupayakan untuk ditekan, namun peristiwa-peristiwa itu muncul lagi mempengaruhi perilaku di kemudian hari.

2. Memungkiri adalah cara mengacaukan apa yang dipikirkan, dirasakan atau dilihat oleh seseorang dalam suatu situasi yang traumatik. Mekanisme itu terdiri dari melindungi diri terhadap kecemasan dengan menutup mata terhadap adanya kenyataan yang mengancam.

3. Pembentukan reaksi merupakan suatu pertahanan terhadap impuls yang mengancam, dengan jalan menciptakan impuls yang sebaliknya. Misalnya menyembunyikan rasa kebencian dibalik topeng pernyataan cinta kasih.

4. Proyeksi adalah suatu usaha menempatkan keinginan dan impuls yang ada pada diri sendiri pada orang lain.

5. Penggeseran adalah menyalurkan impuls dengan jalan menggeser obyek yang mengancam ke sasaran yang lebih aman. Contoh seseorang penakut yang di kantor merasa diintimidasi oleh atasannya, melampiaskan kebenciannya terhadap anak-anaknya di rumah.

6. Rasionalisasi mencakup penjelasan mengapa harus gagal atau mengapa harus kehilangan. Oleh karenanya bisa membenarkan perilaku yang ada, dan dengan demikian bisa mengurangi rasa sakit yang ada hubungannya dengan kekecewaan.

7. Sublimasi mencakup mengalihkan energi seksual ke saluran yang lain yaitu yang secara sosial, umumnya bisa diterima dan bahkan ada yang dikagumi. Misalnya impuls agresif disalurkan ke kegiatan olah raga.

8. Regresi adalah seseorang berbalik kembali kepada perilaku yang dulu pernah dia alami. Misalnya anak-anak yang ketakutan di sekolah mungkin memuaskan diri dengan perilaku kekanak-kanakan seperti menangis. Ketergantungan yang berlebihan, menyedot jari, bersembunyi atau bergelayut pada gurunya.

9. Introjeksi. Mekanisme introjeksi terdiri dari mengundang dan menelan sistem nilai atau standar orang lain. Misalnya, di kamp konsentrasi ada beberapa tawanan yang bergulat dengan keinginan yang amat sangat untuk menerima sistem nilai musuh dengan mengidentifikasi dengan agresi.

10. Identifikasi adalah bagian dari proses yang dipakai anak-anak untuk belajar perilaku peran seksual, identifikasi juga bisa menjadi reaksi defensif. Identifikasi bisa meningkatkan kualitas harga diri dan melindungi seseorang dari perasaan gagal.

11. Kompensasi adalah usaha seseorang menutupi kelemahan yang terlihat ataupun mengembangkan penampilan positif tertentu untuk menutupi keterbatasan. Mekanisme ini bisa memiliki nilai penyesuaian dan bisa juga sebagai usaha dari seseorang untuk bisa berkata “Jangan pandang diri saya, tapi pandanglah saya dari sudut hasil kerja saya”.

12. Ritual dan Penghapusan

Ritual kadang-kadang dilakukan orang secara berlebihan sebagai sarana untuk menghapuskan perbuatan yang menyebabkan mereka merasa berdosa. Penghapusan tidak bisa diterima. Misalnya seorang ayah yang tidak menghendaki kelahiran anaknya, mungkin berusaha untuk mengurangi rasa bersalahnya dengan memberi anaknya materi yang berlebihan.

0.2. PERTUMBUHAN KEPRIBADIAN

Perkembangan dini pada manusia mendapat perhatian yang serius dalam teori dan praktek psikoanalisis. Menurut aliran psikoanalisis perkembangan psikis manusia merupakan perkembangan libido seksualis. Dalam psikoanalisis dilukiskan tahap-tahap perkembangan psikologi dan psikoseksual individu dari lahir hingga dewasa.

Pandangan psikoanalitik Freudian, ketiga area perkembangan personal dan sosial (cinta dan rasa percaya, penanganan perasaan-perasaan negatif, dan pengembangan penerimaan yang positif terhadap seksualitas) itu berlandaskan lima tahun pertama dari kehidupan periode perkembangan ini merupakan landasan bagi perkembangan kepribadian selanjutnya.

Fase-fase perkembangan menurut Corey (1995:149), demikian juga Koeswara (1997) dan Suryabrata (1983:176-182 ) terdiri atas tahap oral, anal, palus, laten, pubertas, genital.

a. Tahap Oral

Tahun pertama kehidupan adalah tahap oral yaitu 0;0 sampai kira-kira 1;0. Pada fase ini mulut merupakan daerah pokok aktivitas dinamis anak manusia.

b. Tahap Anal

Fase anal kira-kira 1;0 sampai kira-kira 3;0. Pada fase ini catherix dan anti catherix berpusat pada fungsi eliminatif (pembuangan kotoran).

c. Tahap Palus/fase falik/fase phallis

Tahap usia adalah 3-6 (Corey 1995:149) dan kira-kira 3;0 sampai 5;0 (Soeryabrata 1983:179-181). Pada fase ini alat-alat kelamin merupakan daerah erogen terpenting.

d. Tahap Laten

Usia masa laten adalah berkisar antara 6–12 (Corey 1995:150), sedangkan Suryabrata (1983:177) 5;0 sampai kira-kira 12;0 atau 13;0. Pada fase ini impuls-impuls cenderung berada dalam keadaan tenang. Interse seks diganti oleh interes pada sekolah , teman bermain, olahraga, dan sederetan aktivitas baru. Tahap ini adalah masa sosialisasi oleh karena anak-anak berpaling ke luar dan menjalin hubungan dengan orang lain.

e. Fase Pubertas

Kira-kira 12;0 atau 13;0 sampai 20;0. Pada fase ini impuls-impuls menonjol kembali. Apabila ini dapat dipindahkan dan disublimasikan oleh das ich dengan berhasil maka sampailah orang kepada fase kematangan terakhir, yaitu fase genital. Tahap ini Corey (1995:150) menamakannya sebagai tahap genital 12-18. Orang dewasa muda bergerak ke dalam tahap genital kecuali jika mereka mengalami fiksasi pada tahap perkembangan psikoseksual lebih dini.

f. Fase Genital

Cathexis pada fase genital mula (fase falis) mempunyai sifat narcistis; artinya individu mempunyai kepuasan dari perangsangan dan manipulasi tubuhnya sendiri dan orang-orang lain dinginkannya hanya karena memberikan bentuk-bentuk tambahan dari kenikmatan jasmaniah itu. Pada fase pubertas narcisme diarahkan ke objek di luar; anak puber mulai belajar mencintai orang lain karena alasan-alasan altruistis dan bukan hanya karena alasan-alasan narcistis. Pada akhir fase pubertas dorongan-dorongan yang altruistis dan telah disosialisasikan ini telah menjadi tetap dalam bentuk-bentuk pemindahan objek, sublimasi, dan identifikasi. Jadi, individu telah berubah dari mengejar kenikmatan menjadi orang dewasa yang telah disosialisasikan dan realistis. Fungsi biologis yang pokok pada fase genital ini ialah reproduksi.

0.2.1. Pengaruh Orang Tua / Masyarakat

1. Orang tua pada tahap lima tahun pertama dari kehidupannya merupakan landasan bagi perkembangan kepribadian selanjutnya.

2. Peran ibu sangat penting untuk memuaskan kebutuhannya.

3. Peran orang tua sangat penting untuk pembentukan kepribadian (penanaman disiplin, memiliki kekuatan, kemandirian dan otonomi)

0.2.2. Pribadi Sehat

1. Memperoleh kepuasan dan rasa percaya kepada orang lain, kepada dunia dan kepada diri sendiri.

2. Terbentuknya pribadi yang mandiri.

3. Dapat mengembangkan kepribadiannya.

0.2.3. Pribadi Tidak Sehat

Pengembangan pandangan terhadap dunia yang didasari oleh tidak percayaan, ketakutan, penolakan afeksi, ketakutan untuk mencintai dan mempercayai, rasa harga diri yang rendah, isolasi dan penarikan diri, ketidak mampuan menghargai atau memelihara hubungan yang akrab serta disiplin. Benci, hasrat rusak, marah, kekakuan, konflik-konflik yang kuat, perasaan berdosa, penuh sesal, rendahnya rasa harga diri dan penghukuman diri.

0.3. KONSELING

Psikoanalisis merupakan model konseling yang berorientasi pada pendekatan klinis dan irrasional. Pendekatan ini didasarkan pada konsep tentang gangguan kepribadian dan perilaku neurotik. Psikoanalisis memandang kejiwaan manusia sebagai ekspresi dari adanya dorongan yang menimbulkan konflik (Gunarsa, 1992:169). Dorongan-dorongan ini sebagian disadari dan sebagian lagi, bahkan sebagian besar tidak disadari. Konflik timbul karena ada dorongan-dorongan yang saling bertentangan, yaitu adanya ketidakseimbangan antara id, ego, dan superego yang sering berakibat seseorang menjadi irrasional. Kondisi irrasional terjadi pada individu karena individu mengalami kepribadian yang kacau (tidak seimbang).

Psikoanalisis dilaksanakan untuk menyembuhkan perilaku individu yang irrasional, sehingga dikatakan sebagai pendekatan yang berorientasi klinis (penyembuhan).

0.4. KONDISI PERUBAHAN

0.4.1. Tujuan

Tujuan konseling psikoanalisis adalah membentuk kembali struktur karakter individu (keseimbangan antara id, ego dan superego) dengan jalan membangun kembali kesadaran yang tidak disadari di dalam diri klien dan memperkokoh ego sehingga perilaku lebih didasarkan pada hal yang nyata dan bukan pada rekayasa yang bersifat naluriah (Corey 1986: 29; Corey1988:36; Corey 1995:165; Surya 1988:197). Melalui proses terapi konselor memfokuskan pada upaya memunculkan kembali pengalaman masa kanak-kanak (masa lampau). Pengalaman masa lampau direkonstruksi, didiskusikan, dibahas, ditafsirkan, dan dianalisis. Dengan cara semacam ini, klien diharapkan dapat melakukan katarsis, dan pada akhirnya konselor mampu mendorong klien agar mampu mengembangkan sikap pemahaman diri untuk mengubah watak.

0.4.2. Konselor

Seorang konselor psikoanalisis disyaratkan memiliki kemampuan dalam bidang-bidang :

0.4.2.1. Pengetahuan

Konselor harus memahami pengetahuan tentang struktur kepribadian dan dinamika kepribadian menurut teori psikoanalisis agar dapat melakukan analisis psikis sesuai dengan kaidah pendekatan psikoanalisis.

0.4.2.2. Sikap

Konselor mampu menerima klien apa adanya, yaitu sebagai orang yang sakit dan memerlukan bantuan penyembuhan dari konselor. Sikap yang diharapkan dari seorang konselor adalah mampu bertindak sebagai psikoanalisis dan mampu menciptakan hubungan interpersonal sampai tercipta transferensi.

0.4.2.3. Keterampilan

Konselor psikoanalisis harus memiliki kemampuan dan terampil mengungkap kehidupan bawah sadar klien dengan menggunakan berbagai teknik yang dikembangkan dalam pendekatan psikoanalisis yaitu asosiasi bebas, interpretasi, analisis mimpi, analisis resistensi, dan analisis transeferensi. Dengan teknik-teknik tersebut konselor menggali pengalaman masa lampau klien. Konselor harus mampu untuk merekonstruksi, mendiskusikan, membahas, menafsirkan, dan melakukan analisis dan diagnosis permasalahan klien.

0.4.2.4. Peranan

Konselor psikoanalis pertama-tama harus mampu membuat hubungan kerja sama yang baik dengan klien, ketulusan hati, mendengarkan keluh kesah klien. Selain itu juga harus (1) menjadi pendengar yang positif (aktif), (2) sebagai seorang penganalisis, pendiagnosis, dan penginterpretasi perilaku klien, (3) berperan sebagai pengendali perilaku klien yang impulsif dan irrasional.

0.4.3. Klien

Klien dalam menjalani proses konseling harus melaporkan perasaan-perasaan, pengalaman-pengalaman, asosiasi-asosiai, ingatan-ingatan dan fantasi-fantasinya. Melalui beberapa tahapan pertemuan klien menjalani konseling secara intensif. Klien diharapkan mampu membawakan dirinya serileks mungkin dan mengurangi stimulus yang dapat menghambat dirinya di dalam memperoleh hubungan dengan konflik-konflik dan produksi internalnya.

Klien menjalani konseling beberapa tahapan sampai akhirnya memperoleh pemahaman masa lampaunya yang tidak pernah disadari, mengembangkan resistance (hambatan) untuk belajar tentang diri sendiri, mengembangkan hubungan transferensi dengan psikoanalis, dan menangani setiap resistance ke arah pemecahan masalah.

0.4.4. Hubungan

Pola hubungan antara konselor dengan klien yang dikembangkan dalam proses konseling psikoanalisis adalah :

1. Hubungan bersifat pribadi

2. Pembicaraan dititikberatkan pada masa lalu klien dalam kaitannya dengan masa sekarang (masalah yang dihadapi klien) dan cara-cara mengambil keputusan pemecahan masalah klien.

3. Hubungan bersifat dokter pasien

4. Terjadinya transferensi antara konselor dengan klien, sehingga mendorong klien untuk mampu menyelesaikan unfinished problem (urusan atau masalah yang tidak pernah selesai). Transferensi adalah terjadinya penyerahan klien tanpa syarat kepada konselor. Transferensi berhenti, konselor melakukan diagnosis dengan menunjukkan kenyataan-kenyataan yang telah diceriterakan klien.

0.5. MEKANISME PERUBAHAN

0.5.1. Proses

Konselor melakukan interpretasi atas ceritera klien sehingga memperoleh insight masa lalu klien. Berdasarkan insight atas masa lalu klien, konselor merasionalisasi pikiran klien secara direktif atau otoriter.

0.5.2. Teknik

Corey (1988:40) menyatakan bahwa teknik-teknik pada psikoanalisis disesuaikan untuk meningkatkan kesadaran, memperoleh pemahaman intelektual atas tingkah laku klien, dan untuk memahami makna berbagai gejala. Kemajuan terapetik berawal dari pembicaraan klien kepada katarsis, kepada pemahaman, kepada penggarapan bahan yang tidak disadari, ke arah tujuan-tujuan pemahaman dan pendidikan ulang intelektual dan emosional, yang diharapkan mengarah pada perbaikan kepribadian. Singkat kata, tahapan konseling dimaksudkan untuk membangun kembali struktur kepribadian klien yang kacau karena adanya ketidak seimbangan id-ego-superego klien. Ada lima teknik dasar terapi psikoanalisis (Corey 1986 :34-37; Corey 1988:41-45; Corey 1995:172-178; Surya 1988:198-200) yaitu (1) asosiasi bebas, (2) interpretasi, (3) analisis mimpi, (4) analisis resitensi, dan (5) analisis transferens.

0.5.2.1. Asosiasi bebas

Asosiasi bebas merupakan teknik pokok dalam terapi psikoanalisis. Prosedur yang dilakukan adalah konselor memerintah klien untuk duduk santai atau berbaring di sofa. Klien diminta berceritera untuk menjernihkan pikirannya dari pemikiran sehari-hari dan sebanyak mungkin untuk mengatakan apa yang muncul dalam kesadarannya betapapun menyakitkan, menjengkelkan, tolol, remeh, tidak logis, dan tidak relevan kedengarannya. Pada intinya, klien mengemukakan semua perasaan atau pikirannya dengan melaporkan apa adanya tanpa sensor.

Asosiasi bebas merupakan suatu metoda pengungkapan pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatik di masa lampau, dan disebut sevagai katarsis. Katarsis sementara dapat mengurangi pengalaman klien yang menyakitkan, akan tetapi tidak memegang peranan utama dalam proses penyembuhan. Untuk membantu klien memperoleh pengetahuan dan evaluasi diri sendiri, konselor menafsirkan makna-makna yang menjadi kunci teknik asosiasi bebas. Selama proses asosiasi bebas, tugas konselor adalah mengidentifikasi hal-hal yang tertekan dan terkungkung dalam ketidaksadaran. Urutan-urutan asosiasi memberi petunjuk kepada konselor dalam memahami hubungan-hubungan klien dengan peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Penghalangan-penghalangan atau pengacauan-pengacauan oleh klien terhadap asosiasi merupakan isyarat bagi adanya bahan yang menimbulkan kecemasan. Konselor menafsirkan bahan itu dan menyampaikannya kepada klien, membimbing klien ke arah peningkatan pemahaman atas dinamika-dinamika yang mendasarinya, yang tidak disadari oleh klien.

0.5.2.2. Interpretasi

Interpretasi atau penafsiran adalah prosedur dasar yang digunakan dalam analisis asosiasi bebas, mimpi, resitensi, dan transferen. Prosedurnya terdiri atas penetapan analisis, penjelasan, dan bahkan mengajar klien tentang makna tingkah laku yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resitensi, dan hubungan terapetik itu sendiri. Fungsi interpretasi adalah membiarkan ego untuk mencerna materi baru dan mempercepat proses menyadarkan hal-hal yang tersembunyi. Interpretasi mengarahkan tilikan dan hal-hal yang tidak disadari klien.

Hal-hal yang penting adalah bahwa interpretasi harus dilakukan pada waktu-waktu yang tepat karena kalau tidak, klien dapat menolaknya. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam interpretasi sebagai teknik terapi. Pertama, interpretasi hendaknya disajikan pada saat gejala yang diinterpretasikan berhubungan erat dengan hal-hal yang disadari klien. Kedua, Interpretasi hendaknya selalu dimulai dari permukaan dan baru menuju ke hal-hal yang dalam yang dapat dialami oleh situasi emosional klien. Ketiga, menetapkan resitensi atau pertahanan sebelum menginterpretasikan emosi atau konflik.

0.5.2.3. Analisis Mimpi

Analisis mimpi merupakan prosedur yang penting untuk membuka hal-hal yang tidak disadari dan membantu klien untuk memperoleh tilikan kepada masalah-masalah yang belum terpecahkan. Selama tidur pertahanan menjadi lebih lemah dan perasaan-perasaan tertekan muncul ke permukaan. Freud melihat bahwa mimpi sebagai “royal road to the unconcious”, dimana dalam mimpi keinginan, kebutuhan, dan ketakutan yang tidak disadari diekspresikan. Beberapa motivasi yang tidak diterima oleh orang lain, dinyatakan dalam simbolik dari pada secara terbuka dan langsung.

0.5.2.4. Analisis resitensi

Resistensi merupakan suatu fundamental praktek-praktek psikoanalisis, adalah sesuatu yang bekerja melawan kemajuan terapi dan mencegah klien untuk menampilkan hal-hal yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas, atau asosiasi mimpi, klien mungkin menunjukkan ketidakmauan untuk mengkaitkan pemikiran, perasaan, dan pengalaman tertentu. Freud memandang resistensi sebagai suatu dinamika yang tidak disadari yang mendorong seseorang untuk mempertahankan terhadap kecemasan. Hal ini akan timbul bila orang menjadi sadar terhadap dorongan dan perasaan yang tertekan.

Interpretasi konselor terhadap resistensi ditujukan kepada bantuan klien untuk menyadari alasan timbulnya resistensi. Sebagai ketentuan umum, konselor meminta perhatian klien dan menafsirkan resistensi yang paling nampak untuk memperkecil kemungkinan penolakan terhadap interpretasi.

Resistensi bukan sesuatu yang harus diatasi, karena hal itu merupakan gambaran pendekatan pertahanan klien dalam kehidupan sehari-hari. Resistensi harus diakui sebagai alat pertahanan menghadapi kecemasan.

0.5.2.5. Analisis transferens

Seperti halnya resistensi, transferen terletak dalam arti terapi psikolanalisis. Transferen muncul dengan sendirinya dalam proses terapetik pada saat dimana kegiatan-kegiatan klien masa lalu yang tidak terselesaikan dengan orang lain, menyebabkan dia mengubah masa kini dan mereaksi kepada konselor sebagai yang dia lakukan kepada ibunya atau ayahnya. Kini dalam hubungan dengan konselor mengalami perasaan penolakan atau permusuhan yang pernah dialami dengan orang tuanya.

DAFTAR PUSTAKA

Corey, Gerald. 1986. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Third Edition. Monterey, California : Brooks/Cole Publishing Company.

Corey, Gerald. 1988. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Cetakan pertama. Terjemahan E. Koswara. Bandung : Eresco.

Corey, Gerald. 1995. Teori dan Praktek Dari Konseling dan Psikoterapi. Cetakan pertama. Terjemahan Mulyarto. Semarang: IKIP Semarang Press.

Dahlan, MD.1985. Beberapa Pendekatan dalam Penyuluhan (Konseling). Bandung : Diponegoro.

Gunarsa, Singgih D. 1992. Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Koswara, E. 1991. Teori-teori Kepribadian. Bandung : Eresco.

Marx, Melvin H., Hillix, William A. 1978. System and Theories in Psychology. Second Wdition. New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company

Natawijaya, Rochman. 1987. Pendekatan-pendekatan dalam Penyuluhan Kelompok. Bandung: Diponegoro.

Rosyidan. 1994. Modul Pengantar Wawancara Konseling. Malang: Jurusan PPB FIP IKIP Malang.

Suryabrata, Sumadi. 1983. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali

Surya, H. Mohammad. 1988. Dasar-dasar Konseling Pendidikan (Teori & Konsep). Cetakan pertama. Yogyakarta : Kota Kembang.

(diedit dari Konseling Psikoanalisis oleh Susilo Rahardjo, Aswotono, Hadiwinoto, Charis --- Prodi BK S2 PPs Universitas Negeri Semarang)

Tidak ada komentar: