Selasa, 03 Januari 2012

PEMANFAATAN HASIL TES DAN NONTES UNTUK LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL


Drs. Susilo Rahardjo

A. PENDAHULUAN
Tes dan nontes merupakan salah instrument untuk memahami individu dalam keseluruhan layanan konseling. Masing-masing instrument tersebut memiliki karakteristik dalam penggunaannya.
Goldman (1971:23) dalam hal ini memandang bahwa penggunaan tes untuk kepentingan konseling dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertama, untuk kepentingan informasi (for informational purpose), dan kedua, untuk kepentingan non informasi (for non informational purpose). Lebih lanjut Goldman menjelaskan bahwa Super (1957) dan Bordin (1955) menetapkan ada tiga kategori dalam tes untuk informasi yaitu: precounseling diagnostic information (informasi pre konseling untuk menetapkan diagnostik), information for counseling process itself (informasi yang digunakan untuk membantu pelaksanaan konseling itu sendiri) dan information for postcounseling plans and actions (informasi untuk menetapkan rencana dan tindakan setelah konseling). Tes untuk kepentingan non informasi terdiri atas: simulating interest in areas not previously considered (merangsang minat terhadap bidang tertentu yang sebelumnya tidak ikut dipertimbangkan), laying a groundwork for later counseling (meletakkan dasar kerja konseling), learning experiences in decision-making (memperoleh pengalaman belajar membuat keputusan) dan facilitating conversation (penyediaan fasilitas percakapan dalam konseling).
Dalam pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah teknik non testing merupakan teknik utama yang harus dikuasai oleh seorang konselor sekolah. Pada umumnya konselor di sekolah lebih sering memahami individu dengan teknik non testing. Walaupun ada teknik testing untuk pemahaman individu, tetapi sebagai tes yang terstandar, validitas dan reliable teruji, teknik testing sejauh ini baru dapat memahami individu pada aspek inteligensi, bakat, minat dan kepribadian. Sementara dalam pengumpulan informasi tentang diri klien, konselor dihadapkan pada kenyataan yang lebih kompleks. Seperti aspek biofisiologis, biologis, sosial, kepribadian dan nilai-nilai klien yang dipengaruhi oleh budaya yang dapat menjadi penyebab masalah klien belum dapat diungkap dengan teknik testing.
Satu hal yang sangat mendasar, apa pun teknik yang digunakan konselor dalam memahami individu, pada hakekatnya adalah untuk memperoleh informasi sebagai bahan untuk mengambil keputusan. Hal ini senada dengan yang ditegaskan oleh Munandir (1996:165) bahwa, informasi adalah segala sesuatu yang membuat orang menjadi tahu tentang sesuatu. Segala apa yang berasal dari luar itu masuk ke dalam diri untuk diolah dan disimpan di dalam sistem ingatan kita, sehingga informasi kemudian menjadi pengetahuan bagi kita tentang sesuatu. Setelah menjadi pengetahuan bagi kita, informasi merupakan bahan yang kita hadapi berasal dari dalam dan/atau luar diri kita untuk mengambil keputusan. Hasil suatu tes dan/atau nontes sebagai bahan informasi merupakan suatu hal penting dalam mengambil keputusan.
Informasi yang diperoleh konselor merupakan rujukan untuk membantu klien menentukan pilihan serta merupakan upaya mencari jawaban atas persoalan “Apa yang harus saya lakukan?” Apabila pilihan itu menyangkut bidang pendidikan mungkin persoalannya akan banyak berkaitan dengan : “Program studi manakah yang harus saya pilih sesuai dengan bakat dan minatku?” Demikian pula jika berkenaan dengan bidang jabatan (karier) mungkin pertanyaan yang muncul berkaitan dengan : “Jabatan apakah yang sesuai dengan bakat dan minatku?” “Bagaimanakah saya memperoleh jabatan yang sesuai dengan cita-cita, bakat dan minatku?” Program studi dan jabatan yang bermacam-macam merupakan bahan informasi bagi seseorang untuk dipilih. Pilihan seseorang atas informasi yang diperolehnya merupakan keputusan, dan proses konseling satu di antaranya tidak mungkin menghindari tahap pembuatan keputusan.

B. TEKNIK TES DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING
Dalam pelayanan bimbingan dan konseling, pada umumnya tes yang digunakan untuk memperoleh data klien adalah tes inteligensi, tes bakat, tes kepribadian (minat, kecenderungan kepribadian), dan tes prestasi belajar.
Hasil tes akan mempunyai makna sebagai informasi bagi klien jika tes tersebut dianalisis dan dinterpretasi, dalam arti tidak hanya berhenti pada penyajian sekor yang diperoleh seorang klien. Untuk kepentingan konseling, hasil tes dapat digunakan sebelum konseling, pada saat proses konseling, dan setelah konseling sebagaimana dikatakan oleh Super dan Bordin (dalam Goldman 1971:23). Pada tahap sebelum konseling hasil informasi tes digunakan konselor sebagai bahan pertimbangan (a) menentukan jenis layanan apakah yang akan diberikan konselor kepada klien, (b) untuk menentukan fokus masalah yang dialami klien, (c) sebagai salah satu bahan diagnosis dari proses yang berkesinambungan dan dipadukan dengan hasil analisis yang lain --- misalnya informasi dari teknik non testing : observasi, wawancara, sosiometri, kuesioner, biografi. Pada tahap proses konseling informasi hasil tes digunakan untuk menafsirkan prognosis dengan memberikan alternatif-alternatif tindakan tentang pendekatan, metode, teknik, dan alat mana yang digunakan dalam upaya membantu pemecahan masalah yang dialami klien. Berdasarkan hasil tes konselor mendapatkan pelengkap data khususnya mengenai sifat-sifat kepribadian klien yang selama ini belum dapat terungkap melalui teknik non tes, sehingga diharapkan hasil informasi tes tersebut dapat membantu kerangka berpikir konselor di dalam merefleksi perasaan klien. Di samping itu informasi hasil tes disampaikan kepada klien dengan harapan klien lebih mengenali dirinya sendiri sehingga klien mampu mengembangkan harapan-harapan yang realistis dalam proses konseling. Pada tahap akhir konseling informasi hasil tes digunakan untuk memberikan bantuan dalam membuat keputusan-keputusan dan rencana-rencana untuk masa depan dengan alternatif-alternatif tindakan secara realistis. Selain itu juga merupakan sumbangan yang berarti bagi klien untuk proses perencanaan dan pilihan tindak lanjut, berkaitan tentang dirinya sendiri dalam hubungannya dengan fakta sekarang yang ada.

C. TEKNIK NON TES DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING
Konselor pada umumnya memahami dan terampil menggunakan teknik non tes dalam melakukan pelayanan bimbingan dan konseling. Teknik non tes dimaksud antara lain observasi, kuesioner, wawancara, inventori (DCM, AUM, ITP), sosiometri. Konselor sejak kuliah sudah berlatih secara intensif menyusun dan menggunakan teknik non tes untuk memahami individu dalam konteks pelayanan bimbingan dan konseling. Hal tersebut berlanjut sampai mereka bekerja di lapangan. Sementara di sisi lain keterampilan menggunakan teknik tes sangat terbatas karena tes terstandar sudah siap pakai, dan penggunaannya terikat kode etik yang ketat sebagaimana disebutkan dalam Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia (PB ABKIN, 2006):
Suatu jenis tes hanya diberikan oleh konselor yang berwewenang menggunakan dan menafsirkan hasilnya. Konselor wajib selalu memeriksa dirinya apakah mempunyai wewenang yang dimaksud.
a. Testing dilakukan bila diperlukan data yang lebih luas tentang sifat atau ciri kepribadian subjek untuk kepentingan pelayanan.
b. Konselor wajib memberikan orientasi yang tepat kepada klien dan orang tua mengenai alasan digunakannya tes disamping arti dan kegunaannya.
c. Penggunaan suatu jenis tes wajib mengikuti secara ketat pedoman atau petunjuk yang berlaku bagi tes tersebut.
d. Data hasil testing wajib diintegrasikan dengan informasi lain yang telah diperoleh dari klien sendiri atau dari sumber lain. Dalam hal ini data hasil testing wajib diperlakukan setara dengan data dan informasi lain tentang klien.
e. Hasil testing hanya diberitahukan kepada pihak lain sejauh ada hubungannya dengan usaha bantuan kepada klien.
Rambu-rambu tersebut menyebabkan pembelajaran calon konselor berbeda dengan teman-temannya di program studi Psikologi, yang dalam batas tertentu mereka memperoleh mata kuliah konstruksi tes. Namun demikian, karena dalam pembelajaran calon konselor lebih menekankan penguasaan konsep dan praksis teknik non tes, sudah barang tentu konselor semestinya terampil menggunakan teknik non tes.
Keterampilan konselor dalam teknik non tes semisal observasi, kuesioner, wawancara, inventori (DCM, AUM, ITP), sosiometri; diperoleh mulai dari memahami konsepnya, kekhasan tiap metode, menyusun instrumen, melakukan pengumpulan data dengan metode tersebut, menganalisis dan menginterpretasi data, menggunakan hasil praktik teknik non tes untuk pelayanan bimbingan dan konseling.
Aplikasi instrumentasi teknik non tes oleh konselor pada umumnya dilakukan secara terpadu, tidak menggunakan metode tunggal. Karena pada umumnya untuk memahami individu secara utuh: potensinya, masalahnya, dan kemungkinan pengembangan pribadinya tidak dapat diperoleh dari satu metode saja. Misalnya observasi tidak menjangkau data latar belakang keluarga yang lebih tepat diungkap melalui kuesioner, sebaliknya kuesioner tidak bisa mencatat aktivitas klien “secara on the spot” ketika mengikuti kegiatan tertentu di sekolah; wawancara bisa lebih mendalami latar belakang mengapa seorang siswa memilih dan menolak temannya satu kelas dari pada sekedar alasan memilih dan menolak temannya yang tertulis dalam angket sosiometri.

D. IMPLEMENTASI TEKNIK TES DAN NON TES DALAM LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL
Pada suatu hari konselor SMA Pringgodani Kudus didatangi oleh Arimbi siswa kelas X.3. Arimbi setelah menerima laporan hasil psikotes ternyata mengalami konflik. Rekomendasi psikologis yang disarankan untuknya adalah dengan urutan prioritas jurusan Bahasa, IPS, dan IPA. Ia merasa kecewa karena harapannya tidak sesuai dengan kenyataan yang digambarkan pada psikotes. Sejak itu ia sering mengalami konflik batin, mau belajar lebih rajin ataukah biasa saja? Perilaku yang nampak di kelas antara lain sering bengong, tampangnya kusut, enggan bergaul dengan teman sekelas, cenderung sering tidak mengerjakan PR jika dibandingkan dengan sebelum menerima hasil psikotes.
Perilaku Arimbi yang berubah sejak itu, menarik perhatian para guru mata pelajaran dan wali kelas. Beberapa orang guru dan wali kelas kemudian menyampaikan kepada konselor tentang perubahan perilaku Arimbi.
Konselor merancang untuk memberikan layanan konseling individual kepada Arimbi setelah memperoleh masukan dari beberapa guru dan wali kelas X.3. Dari pertemuan awal diperoleh gambaran:
(1) Arimbi merupakan tipe anak yang tidak mau menerima begitu saja apa yang diputuskan baginya. Ia merasa bahwa ia mampu dalam bidang IPA, IPS dan Bahasa sama baiknya. Tetapi jika ia dijuruskan ke Bahasa merupakan siksaan baginya. Ia ingin jadi dokter karena ia sering sakit, tetapi takut dengan dokter. Jika ia menjadi dokter maka ia dapat mengobati dirinya sendiri. Hasil studi awal konselor terhadap Arimbi atas kasus ini diperoleh simpulan bahwa di satu sisi Arimbi punya ambisi cukup besar untuk mewujudkan keinginannya, kemauan belajarnya cukup tinggi, pergaulannya luas karena sikapnya supel, ia disukai teman-temannya karena senang membantu teman yang kesulitan antara lain dengan mengajak belajar kelompok; di sisi lain ia tidak suka jika orang lain memutuskan sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya, tidak suka dikritik, mudah kecewa terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Dinamika psikisnya menghadapi keputusan penjurusan cenderung negatif, sehingga menimbulkan konflik pada dirinya. Konflik itu muncul karena ia ingin masuk IPA, tetapi ia diputuskan masuk Bahasa sebagai prioritas I.
(2) Konflik yang dialami oleh Arimbi dirasakan cukup mengganggu oleh guru-guru, wali kelas, teman sekelas, dan orang tua. Karena cenderung sering tidak mengerjakan PR, guru-guru mengalami kesulitan untuk memberikan motivasi anak lainnya sebab Arimbi sering mendorong teman-temannya untuk mencoba menuliskan hasil PRnya di papan tulis. Teman-teman sekelas kehilangan sumber informasi dan sumber belajar, karena tidak mau mengerjakan PR maka Arimbi pun tidak mau membantu temannya menyelsaikan soal-soal PR. Sementara itu orang tua tidak tahu bagaimana harus bersikap menghadapi Arimbi di rumah yang sekarang lebih banyak nyungsep di kamar, gairah makan menurun, kehilangan canda rianya bersama adik-adiknya, menghindari berbicara dengan orang tua.

Konselor memutuskan untuk memberikan layanan konseling individual kepada Arimbi setelah memperoleh masukan dari guru, wali kelas, teman, dan orang tua.

Identifikasi
Arimbi berasal dari keluarga yang cukup baik sosial ekonominya. Suasana keluarga hangat, demokratis --- terbuka dalam membahas persoalan yang dihadapi oleh anggota keluarga. Pergaulannya dengan guru, teman sekolah dan di kampung sangat baik. Hampir semua orang di rumah (tetangganya) maupun di sekolah sangat suka dengan Arimbi.
Untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang harapan dan cita-citanya, konselor mempelajari catatan akademiknya pada semester 1 sebagaimana tersaji dalam Tabel 1.

Tabel 1 Nilai Arimbi Kelas X.3 Semester 1 Tahun Pelajaran 2010/2011

Komponen Nilai
A. Mata Pelajaran
1. Pendidikan Agama 8
2. Pendidikan Kewarganegaraan 8
3. Bahasa Indonesia 9
4. Bahasa Inggris 9
5. Matematika 8
6. Fisika 7
7. Biologi 8
8. Kimia 7
9. Sejarah 9
10. Geografi 8
11. Ekonomi 8
12. Sosiologi 8
13. Seni Budaya 9
14. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 8
15. Teknologi Informasi dan Komunikasi 9
16. Keterampilan /Bahasa Asing 8

B. Muatan Lokal
17. Bahasa Jawa 7
C. Pengembangan Diri A


Proses Konseling
Konselor setelah mempelajar latar belakang Arimbi, memutuskan untuk menggunakan pendekatan Client-Centered. Pendekatan ini dipilih konselor untuk membantu memecahkan masalah Arimbi (Gunarsa, 1992:127-128) karena secara spesifik :
(1) Perhatian diarahkan pada pribadi klien dan bukan kepada masalahnya. Tujuannya bukan memecahkan suatu masalah tertentu, tetapi membantu seseorang untuk tumbuh, sehingga ia bisa mengatasi masalah, baik masalah sekarang maupun masalah yang akan datang dengan cara yang lebih baik. Jika seseorang berhasil mengatasi masalah dalam suasana yang lebih bebas, lebih bertanggungjawab, berkurang sikap ragu-ragunya, dengan cara yang lebih teratur, maka pada saat menghadapi masalah baru ia akan bisa mengatasinya dengan cara yang sama.
(2) Penekanan lebih banyak terhadap faktor emosi, dari pada terhadap faktor intelek. Dalam kenyataannya perilaku Arimbi dipengaruhi oleh emosi daripada oleh pikiran. Arimbi bisa mengetahui bahwa perilakunya sebenarnya tidak baik, jadi secara rasional dan intelektual, ia mengetahui hal itu dan tidak boleh melakukan hal itu, tetapi kenyataannya lain. Pendekatan ini bekerja langsung terhadap kehidupan emosi dan perasaan yang nyata daripada berusaha mereroganisasikan faktor emosi melalui pendekatan intelektual,
(3) Memberi tekanan yang lebih besar terhadap keadaan yang ada sekarang dari pada terhadap apa yang sudah lewat. Pola emosi yang diperlihatkan Arimbi sekarang ini sama saja dengan pola emosi yang sudah ada dalam sejarah pribadinya.
(4) Penekanan pada hubungan terapetik itu sendiri sebagai tumbuhnya pengalaman. Di sini Arimbi belajar memahami diri sendiri, membuat keputusan sendiri, membuat keputusan yang penting dengan bebas dan bisa sukses berhubungan dengan orang lain secara lebih dewasa.
Mengacu dari Surya (1988:213) dan Gunarsa (1992:129-131), langkah-langkah yang ditempuh oleh konselor dalam membantu memecahkan masalah Arimbi adalah sebagai berikut :
(1) Arimbi datang menemui konselor. Ia mengatakan bahwa ia mendapatkan saran dari guru, wali kelas, dan teman-temannya untuk minta jasa konseling kepada konselor. Konselor menciptakan situasi yang bebas dan permisif, sehingga ia memutuskan untuk melanjutkan konseling.
(2) Situasi terapetik dimulai. Sejak saat itu Arimbi disadarkan bahwa konselor tidak mempunyai jawaban, tetapi melalui proses konseling Arimbi akan memperoleh sesuatu. Arimbi harus bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Konselor hanya sebagai fasilitator, sehingga bagaimana Arimbi terselesaikan masalahnya tergantung pada dirinya sendiri.
(3) Konselor mendorong Arimbi untuk mengemukakan perasaannya secara bebas berkenaan dengan hasil psikotes untuk penetapan jurusan. Agar Arimbi dapat mengemukakan kekecewaannya, konflik batinnya, maka konselor secara wajar memperlihatkan sikap ramah, bersahabat, dan menerima klien apa adanya (congruence dan unconditional positive regard).
Arimbi menunjukkan hasil psikotes yang diperolehnya

Tabel 2 Profil Kecerdasan, Bakat dan Minat Arimbi

No. Aspek Kecerdasan dan Bakat NILAI KLASIFIKASI
1 Kecerdasan Umum 80 Tinggi
2 Pemahaman Sosial 89 Tinggi
3 Kawasan Pengetahuan 75 Cukup Tinggi
4 Analogi Verbal 79 Cukup Tinggi
5 Logika Sosial 70 Cukup Tinggi
6 Pemahaman Numerik 69 Sedang
7 Logika Numerik 75 Cukup Tinggi
8 Kemampuan Analogi 80 Tinggi
9 Berpikir Induktif Deduktif 85 Tinggi
10 Persepsi Keruangan 75 Cukup Tinggi
11 KetepatanPresisi 75 Cukup Tinggi
Kemungkinan berhasil IPA 77 Cukup Tinggi
IPS 78 Cukup Tinggi
Bahasa 81 Tinggi
No. Aspek Minat Nilai Klasifikasi
1 Sosial 70 Cukup Tinggi
2 Bussines 79 Cukup Tinggi
3 Home Ekonomi 59 Agak Rendah
4 Secretary 80 Tinggi
5 Medical 69 Sedang
6 Matematika 70 Cukup Tinggi
7 Fisika 80 Tinggi
8 Biologi 89 Tinggi
9 Teknik 80 Tinggi
10 Kesehatan 90 Tinggi Sekali
11 Musik 69 Sedang
Kemungkinan berhasil IPA 78 Cukup Tinggi
IPS 72 Cukup Tinggi
Bahasa 78 Cukup Tinggi

(4) Konselor menerima, mengenal dan memahami Arimbi yang menggerutu, cemberut, menghentak-hentakkan kakinya, pendek kata semua perilaku negatifnya; kemudian merespon perilaku Arimbi. Konselor tidak perlu mengomentari bahwa sikapnya sekarang ini tidak benar, tidak sopan, dan sebagainya; tetapi cukup tersenyum simpul dan menunjukkan kepada Arimbi apa yang ada di balik ungkapan-ungkapan perasaanya itu, sehingga menimbulkan suasana klien dapat memahami dan menerima keadaan negatif atau tidak menyenangkan itu, tidak diproyeksikan kepada orang lain atau disembunyikan. Misalnya dengan mengatakan: “Anda nampak kecewa sekali, karena hasil psikotes Anda tidak sesuai dengan harapan dan keinginan Anda.” Dengan cara semacam itu maka klien tidak akan melakukan defense mechanism.
(5) Ketika perasaan-perasaan negatif telah diungkapkan sepenuhnya, pada saat itu akan diikuti oleh ekspresi dari dorongan positif untuk berkembang lebih lanjut. Wujud dari kondisi positif adalah pernyataan Arimbi: “Saya kecewa sekali dijuruskan ke program Bahasa, rasa-rasanya masa depan saya suram. Saya tidak ingin menjadi sastrawan atau ahli bahasa. Saya hanya ingin menjadi dokter. Seandainya saya dapat masuk IPA, saya akan lebih tekun mempelajari Fisika, Kimia dan Biologi.” Hal ini merupakan peluang bagi klien untuk disembuhkan.
Konselor menceritakan hasil pengamatan yang dilakukan guru-guru selama Arimbi mengikuti pelajaran setelah menerima hasil psikotes yang cenderung menurun motivasi belajarnya, tidak mengerjakan PR dan lebih baik dihukum.
Konselor juga menceritakan hasil wawancara dengan teman-teman sekelas dan orang tuanya yang memberikan gambaran serupa dengan hasil observasi guru-guru mata pelajaran.
Hasil dokumentasi juga menunjukkan sejak SD, SMP, dan awal di SMA Arimbi sering memenangi lomba mengarang, membaca puisi, meskipun juga di kelas VI SD menang lomba mata pelajaran Matematika dan IPA, di kelas VIII SMP juga pernah menang lomba IPA.
(6) Konselor memahami dan menerima perasaan-perasaan positif yang diungkap-kan Arimbi sebagaimana adanya, sama seperti menerima dan memahami ungkapan-ungkapan perasaan negatif Arimbi. “Anda ingin sekali masuk IPA, karena Anda ingin jadi dokter.” Perasaan positif tidak diterima oleh konselor sebagai sesuatu yang harus dipuji atau seperti layaknya sesuatu permintaan yang harus dipenuhi, melainkan sebagai sesuatu yang wajar yang ada pada diri pribadi seseorang. Dengan penerimaan seperti itulah klien belajar menyadari diri sendiri sebagaimana keadaan sebenarnya.
(7) Pemahaman, pengenalan dan penerimaan tentang diri sendiri, adalah langkah berikutnya yang penting dari keseluruhan proses, yang menjadi dasar pada diri Arimbi untuk dapat maju ke tingkat yang baru dari integrasinya. Pada saat ini konselor sebagai fasilitator memimpin klien untuk melihat kenyataan dirinya dengan memahami dan mendiskusikan hasil psikotes dan nilai raportnya di kelas X semester I, hasil psikotesnya, dan data-data non tes yang diperoleh konselor.
Biarkan Arimbi menganalisisnya dan mengomentarinya. “Saya tahu dan saya kecewa sekali bahwa sekor-sekor saya untuk program IPA lebih jelek dibandingkan dengan sekor-sekor Bahasa dan IPS sebagaimana hasil psikotes saya. Tetapi saya rasa nilai-nilai raport saya tidak begitu jelek, paling tidak saya rasa saya dapat mengikuti pelajaran di kelas XI IPA jika saya masuk ke sana. Tetapi apakah itu mungkin?”, kata Arimbi. “Kenapa tidak,” kata konselor.
(8) Bersama-sama dengan proses pemahaman ini adalah proses yang memperjelas kemungkinan-kemungkinan keputusan atau tindakan yang akan dilakukan Arimbi. Konselor mendengarkan dengan seksama kata-kata Arimbi: “Saya akan berjuang agar dapat masuk IPA, karena tadi Bapak mendukung keinginan saya, saya ada peluang masuk IPA jika raport saya pada semester kedua nilai-nilai IPAnya lebih baik dari semester pertama.” “Apa yang kamu lakukan untuk itu?”, tanya konselor. “Saya akan belajar sungguh-sungguh, saya akan ikut les privat untuk mata pelajaran Matematika, Fisika, Bilogi dan Kimia. Mungkin juga saya harus mengurangi, bahkan kalau perlu meninggalkan kegiatan saya di OSIS”, jawab Arimbi. “Apakah kamu tidak merasa rugi meninggalkan kegiatanmu di OSIS?”, tanya konselor. “Saya rasa tidak, karena saya ingin masuk IPA. Atau saya tetap mengikuti kegiatan OSIS tetapi yang aktivitasnya mengarah ke IPA seperti KIR”, jawab Arimbi mantap.
(9) Tindakan positif. Suatu keputusan untuk melakukan tindakan yang nyata, yang positif, yang tumbuh dari dirinya sendiri. Klien mencoba memanifestasikan/mengaktualisasikan pilihannya itu dalam sikap dan tingkah lakunya. “Jika Bapak mengijinkan, demikian pula dengan guru-guru yang lain dan wali kelas, saya minta dimasukkan ke IPA”, kata Arimbi. “Kenapa tidak, asal nilai raportmu memenuhi syarat untuk itu”, kata konselor. “Baik Pak, saya akan berusaha sekuat tenaga”, timpal Arimbi.
(10) Langkah selanjutnya adalah perkembangan sikap dan perilaku Arimbi sejalan dengan perkembangan tilikan tentang dirinya. The self Arimbi telah terbentuk melalui pengalaman-pengalamannya baik yang berasal dari luar maupun yang dari dalam dirinya. Dari luar adalah pengalaman yang berupa dorongan dari orang lain dan kemungkinan untuk memenuhi keinginannya, sedangkan dari dalam berupa pengalaman konflik dan kekecewaan karena keinginannya terhambat tetapi pada akhirnya terbuka kesempatan untuk mencapainya. Arimbi merasa yakin akan kemampuannya untuk mengejar waktu yang tersisa dalam memenuhi keinginannya.
(11) Tingkah laku Arimbi makin bertambah terintegrasi dan pilihan-pilihan yang dilakukannya makin adekuat; kemandirian dan pengalaman dirinya makin meyakinkan. Ia berkata kepada konselor: “Saya merasa bahwa jalan yang akan saya tempuh sudah lapang dan jelas. Saya sudah tahu apa yang harus saya lakukan, dengan segala resikonya. Dan tentu saja saya tidak akan kecewa berat seperti sebelum pertemuan ini jika saya gagal, karena saya sudah berusaha semampu saya. Saya yakin saya bisa jika saya berusaha keras dan sungguh-sungguh”.
(12) Arimbi merasa bahwa bebannya suda ditanggalkan dan hubungan konseling harus segera diakhiri. Ia menghentikan hubungan terapetik dengan konselor. “Saya rasa, saya sudah merasa bebas dari masalah saya. Saya dapat melihat kenyataan tentang penjurusan saya, dan saya melihat ada peluang terbuka untuk saya ke jurusan IPA. Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak yang telah membantu memecahkan masalah saya”.

Konseling telah selesai. Arimbi telah menjadi individu yang kepribadiannya terintegrasi dan berdiri sendiri, ia telah bebas dari masalahnya. Konselor dan Arimbi melakukan kegiatannya masing-masing.


E. AKHIR KATA
Konselor telah melakukan konseling individual dengan dukungan data yang diperoleh dari teknik tes (tes inteligensi/kecerdasan, bakat dan minat) dan teknik non tes (observasi, wawancara, dokumentasi nilai raport). Kedua teknik tersebut telah bersinergi dengan baik untuk membantu klien memperoleh informasi yang jelas tentang dirinya, memahami dirinya, mengambil keputusan, dan pada akhirnya mampu memecahkan masalahnya.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Hariadi. 2011. Non Tes dalam Bimbingan dan Konseling. Tersedia on line di http://hariadimemed.blogspot.com/2011/07/non-tes-dalam-bimbingan-dan-konseling.html diunduh 28 Nopember 2011.

Goldman, L. (1971). Using Test in Counseling. Santa Monica, California: Goodyear Publishing. Co. Inc.

Gunarsa, Singgih D. 1992. Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Himcyoo. 2011. Pemahaman Individu dengan Teknik Non Testing. Tersedia on line di http://himcyoo.wordpress.com/2011/02/22/pemahaman-individu-dengan-teknik-non-testing/ diunduh 28 Nopember 2011.

Munandir. 1996. Program Bimbingan Karier di Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.

PB ABKIN. 2006. Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia. Bandung: Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.

Rahardjo, Susilo. 2007. Pemahaman Individu II Tinjauan dari Segi Testing. Kudus: Program Studi Bimbingan dan Konsleing Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus.

Rahardjo, Susilo & Gudnanto. 2011. Pemahaman Individu Teknik Non Tes. Kudus: Nora Media Enterprise.

Surya, M. (1988). Dasar-Dasar Konseling Pendidikan (Teori dan Konsep), Yogyakarta : Kota Kembang.


Selasa, 05 April 2011

Peran Orang Tua Dalam Mempersiapkan Anak Mengikuti Ujian Nasional

PERAN ORANG TUA DALAM MEMPERSIAPKAN ANAK MENGIKUTI UJIAN NASIONAL[1]

Drs. Susilo Rahardjo, M.Pd. [2]

A. PENDAHULUAN

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara, demikian yang tersurat dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Departemen Pendidikan Nasional. 2003)

Visi sistem pendidikan nasional sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa mengisyaratkan bahwa pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus berlangsung sinergis. Visi sistem pendidikan nasional dimaksudkan untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah (http://www.unindra.ac.id/PP 17 Tahun 2010.pdf).

Dalam era globalisasi dan informasi saat ini, keterbukaan telah menjadi karakteristik kehidupan yang demokratis, dan hal ini membawa dampak pada cepat usangnya kebijakan maupun praksis pendidikan. Parameter kualitas pendidikan, baik dilihat dari segi pasokan, proses, dan hasil pendidikan selalu berubah. Tanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama Pemerintah, masyarakat dan orang tua. Oleh sebab itu, pendidikan harus secara terus-menerus perlu ditingkatkan kualitasnya, melalui sebuah pembaruan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pemangku kepentingan (stakeholders) agar mampu mempersiapkan generasi penerus bangsa sejak dini sehingga memiliki unggulan kompetitif dalam tatanan kehidupan nasional dan global (http://www.unindra.ac.id/PP 17 Tahun 2010.pdf).

Pendidikan nasional yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, pemerintah menyelenggarakan penilaian hasil belajar melalui ujian nasional, selain penilaian yang dilakukan oleh pendidik dan satuan pendidikan.

Penilaian hasil belajar oleh pemerintah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) pada pasal 66, yaitu sebagai berikut:

(1) Penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) butir c bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional.

(2) Ujian nasional dilakukan secara objektif, berkeadilan, dan akuntabel.

Ujian nasional yang diselenggarakan oleh BSNP pada beberapa tahun terakhir kurang menunjukkan perkembangan dan hasil yang sesuai dengan ketentuan pasal 66 di atas. Pelanggaran dan berbagai upaya ”negatif” yang dilakukan pihak terkait sangat mencemaskan dan memperburuk citra pendidikan nasional. Tengok peristiwa sebelum ini, antara lain kekesalan dan kekecewaan mengemuka tatkala 58 warga negara menggugat kebijakan UN dengan dukungan dari MA yang mementahkan kasasi pemerintah. Ketua BNSP, menengarai adanya usaha sistematis untuk mengedarkan kunci jawaban yang ternyata palsu. Karenanya, UN ulangan merupakan sangsi moral bagi siswa dan sekolah. dan banyak tragedi lainnya; yang menyebabkan guru-guru yang masih punya nurani melakukan gerakan melalui Komunitas Air Mata Guru (KAMG) yang sejak awal mengingatkan banyak pihak agar selalu waspada terhadap terjadinya kecurangan dalam penyelenggaraan ujian nasional (Gultom, 2010).

Melihat kondisi semacam itu, Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (PB ABKIN) bekerja sama dengan Pengurus Daerah ABKIN Jawa Tengah bertempat di LPMP Semarang pada hari Minggu 13 Maret 2011 menyelenggarakan Seminar Nasional dengan tema “Peran Guru, Konselor, Kepala Sekolah, Orang Tua, Masyarakat dan Pemerintah Daerah Dalam Membantu Siswa Menghadapi Ujian Nasional Yang Sukses, Jujur dan Akuntabel”. Melalui seminar ini diharapkan semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan ujian nasional harus berupaya melaksanakan ujian nasional yang dapat mencapai tujuan pendidikan nasional. Penulis, dalam makalah ini lebih menekankan pada Peran Orang Tua Mempersiapkan Anak Mengikuti Ujian Nasional.

B. PEMBAHASAN

1. Hakikat Pendidikan

Banyak kalangan memberikan hakikat pendidikan sangat beragam, bahkan sesuai dengan pandangannya masing-masing. Azyumardi Azra sebagaimana dikutip oleh Nurokhim (2007) memberikan pengertian tentang “pendidikan” sebagai suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Bahkan ia menegaskan, bahwa pendidikan lebih dari sekedar pengajaran, artinya, bahwa pendidikan adalah suatu proses di mana suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri di antara indidivu-individu.

Pandangan Azra di atas menyiratkan peran bangsa atau negara dalam pendidikan. Kelangsungan hidup suatu bangsa atau negara tergantung dari bagaimana para pemimpin bangsa atau negara ini mempersiapkan generasi mudanya. Kiranya tidak berlebihan, jika berbagai upaya pemerintah Republik Indonesia sejak merdeka, Orde Lama dinamika Demokrasi Terpimpin dan Nasakomnya, Orde Baru dengan Pelitanya (Pembangunan Lima Tahun) sampai dengan Orde Reformasi dianggap sebagai upaya negara dalam mendidik bangsanya dalam arti luas, yaitu pendidikan melalui berbagai jalur kehidupan yang paling tidak mencakup Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Pertahanan dan Keamanan.

Semua upaya bangsa dan negara tersebut merupakan upaya pendidikan yang bukan sekedar pengajaran “di sekolah”. Berbagai upaya pendidikan tersebut dimaksudkan agar setiap individu (warga negara) mampu mengembangkan dirinya agar dapat hidup sejahtera, dan mengambil peran dalam kehidupan masyarakat dunia.

Menurut Prayitno (2009), pendidikan merupakan wahana bagi pengembangan manusia. Pendidikan menjadi media bagi pemuliaan kemanusiaan manusia yang tercermin di dalam harkat dan martabat manusia dengan hakikat manusia, dimensi kemanusiaan dan pancadayanya. Pendidikan seperti ini dilaksanakan oleh manusia dan untuk manusia, serta hanya terjadi di dalam hubungan antarmanusia.

Pandangan Prayitno di atas selanjutnya dijelaskan sebagai berikut, harkat dan martabat manusia membedakan manusia dengan makhluk lainnya karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, makhluk yang paling indah dan sempurna dalam penciptaan dan pencitraannya, makhluk yang paling tinggi derajatnya, khalifah di muka bumi, dan pemilik hak azasi manusia.

Setiap individu sejak kelahirannya sudah membawa bekal hakikat manusia tersebut di atas yang dalam pengembangan diri dan kehidupan selanjutnya dilengkapi lima dimensi kemanusiaan yaitu dimensi kefitrahan, dimensi keindividualan, dimensi kesosialan, dimensi kesusilaan, dan dimensi keberagamaan. Kelima dimensi tersebut merupakan satu kesatuan, saling terkait dan berpengaruh. Kelimanya pada dasarnya menyatu, berdinamika dan bersinergi sejak awal kehidupan individu, dalam perkembangan dirinya dari waktu ke waktu, sampai akhir kehidupannya. Kelimanya menuju kepada perkembangan individu menjadi “manusia seutuhnya”. Untuk memungkinkan perkembangan individu ke arah yang dimaksud itu manusia dikaruniai oleh Sang Maha Pencipta lima jenis bibit pengembangan yang disebut pancadaya, yaitu daya taqwa, daya cipta, daya karsa, daya rasa, dan daya karya.

Pancadaya yang merupakan potensi dasar kemanusiaan itulah yang menjadi isi hakiki kekuatan pengembangan keseluruhan dimensi kemanusiaan. Dalam kajian dewasa ini, pancadaya sering dimanifestasikan sebagai kemampuan dasar yang disebut sebagai inteligensi spiritual, inteligensi rasional, inteligensi sosial, inteligensi emosional, dan inteligensi instrumental.

Pencapaian manusia seutuhnya melalui proses pendidikan hanya mungkin dilakukan oleh manusia untuk manusia, yaitu oleh manusia dewasa yang dengan ikhlas dan kesungguhan hati menuntun dan mengantarkan manusia muda untuk mampu dan mencapai perkembangan dirinya secara optimal, manusia mulia yang bermartabat. Perkembangan manusia muda sebagai peserta didik menjadi manusia dewasa yang mulia dan bermartabat hanya bisa terjadi dalam hubungan antarmanusia, di mana pendidik dan peserta didik saling berinteraksi dalam suasana pendidikan yang memandirikan.

Satmoko (1999) merumuskan hakikat pendidikan adalah sebagai berikut:

(1) Pendidikan adalah pertolongan atau pengaruh yang diberikan seseorang yang bertanggung jawab kepada anak agar menjadi dewasa. Pendidikan adalah kehidupan bersama satu kesatuan tritungal ayah, ibu dan anak, di mana terjadi pemanusiaan anak, melalui proses pemanusiaan diri sampai menjadi manusia “purnawan”.

(2) Pendidikan berarti pemasukan anak ke dalam alam budaya, atau juga masuknya alam budaya ke dalam anak. Pendidikan merupakan hidup bersama dalam kesatuan tritunggal ayah-ibu-anak, di mana terjadi pembudayaan anak, melalui suatu proses sehingga akhirnya bisa membudaya sendiri sebagai manusia “purnawan”.

(3) Pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal ayah-ibu-anak, di mana terjadi pelaksanaan nilai-nilai, dengan melalui proses akhirnya dia bisa melaksanakan sendiri sebagai manusia “purnawan”.

Menurut hemat penulis pengertian pendidikan tersebut memuat unsur-unsur ayah-ibu-anak sebagai subjek pendidikan, di mana ayah dan ibu melakukan pendidikan dan pendampingan kepada anak agar ia mampu mentransfer nilai-nilai dan budaya, yang selanjutnya anak bisa membudaya sendiri sebagai manusia yang purnawan.

Catatan penting tentang apa yang dimaksud dengan manusia purnawan menurut Laporan Komisi Internasional Untuk Pengembangan Pendidikan (Unesco, 1972 dalam Satmoko, 1999), adalah dimensi manusia yang sempurna dinyatakan sebagai orang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan keajaiban yang bersumber pada kegiatan-kegiatan mampu mengamati, mencoba-coba, dan menggolong-golongkan pengalaman dan informasi; mampu menyatakan pendapat dirinya dan mendengarkan suatu perdebatan; mampu melatih kecakapannya dalam menghadapi kesangsian secara sistematis; mampu mempersoalkan dunia dengan cara mengkombinasikan kerangka pikiran ilmiah.

Dari paparan di atas, pendidikan adalah suatu hal yang benar-benar harus ditanamkan selain menempa fisik, mental dan moral bagi individu-individu peserta didik, agar mereka menjadi manusia yang berbudaya, sehingga mampu memenuhi tugasnya sebagai makhluk yang diciptakan Alah Tuhan Semesta Alam sebagai makhluk yang sempurna dan terpilih sebagai khalifahNya di muka bumi ini, juga sekaligus agar menjadi warga negara yang berarti dan bermanfaat bagi negara.

Oleh karena itu seharusnya pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Departemen Pendidikan Nasional, 2003).

2. Tri Pusat Pendidikan

Ki Hadjar Dewantara memiliki keyakinan bahwa pendidikan terutama bagi bangsa Indonesia harus dilakukan melalui tiga lingkungan pendidikan yang disebut sebagai tri pusat pendidikan, yaitu lingkungan/alam keluarga, lingkungan/alam perguruan/sekolah, dan lingkungan/alam pergerakan/organisasi pemuda (Satmoko, 1999).

2.1 Lingkungan Keluarga

Lingkungan keluarga merupakan pusat pendidikan pertama dan terpenting karena sejak timbulnya adab kemanusiaan sampai sekarang kehidupan keluarga selalu berpengaruh besar terhadap perkembangan anak manusia. Filsafat pendidikan yang dikembangkan Ki Hadjar Dewantara tercermin dalam azas-azas “Panca Dharma” yang berisi (1) Kemerdekaan, (2) Kodrat alam yaitu segala kekuasaan alam yang bersifat asli dan jelas dan sewaktu-waktu dapat kita lihat dan kita nyatakan, (3) Kebudayaan, (4) Kebangsaan, (5) Kemanusiaan.

Hubungan antara kelima azas itu dijelaskan oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai berikut:

“Berilah Kemerdekaan dan kebebasan kepada anak-anak kita; bukan kemerdekaan yang leluasa, namun yang terbatas oleh tuntutan-tuntuan Kodrat Alam yang khas atau nyata dan menuju ke arah Kebudayaan, yakni keluhuran hidup manusia. Agar kebudayaan tadi dapat menyelamatkan, membahagiakan hidup dan penghidupan diri dan masyarakat, maka perlulah dipakai dasar-dasar kebangsaan, akan tetapi jangan sekali-kali dasar ini melanggar atau bertentangan dengan dasar yang lebih luas, yaitu dasar kemanusiaan”.

Panca Dharma ini harus dilaksanakan oleh setiap orang tua dalam pendidikan keluarga. Tiap peserta didik berhak memperoleh kebebasan untuk mengembangkan kecerdasan, pengetahuan, budi pekerti dan kepandaian setinggi-tingginya sesuai dengan pembawaan masing-masing. Di dalam keluarga diharapkan pula terbinanya rasa kesatuan dan kebudayaan kebangsaan Indonesia, tanpa mengabaikan kemanusiaan sedunia.

2.2 Lingkungan Perguruan

Alam perguruan (khususnya balai wiyata) terutama diwajibkan mengusahakan pengembangan kecerdasan dan penguasaan pengetahuan dengan ketentuan agar tidak sampai menjauhkan anak didik dari alam keluarga dan alam kemasyarakatan serta tidak menimbulkan intelektualisme. Untuk meaksanakan hal tersebut guru harus menerapkan Panca Dharma dasar Perguruan Taman Siswa secara teliti. Dasar kemanusiaan, kemerdekaan dan kebudayaan mewarnai corak pendidikan Taman Siswa yang disebut “Pendidikan Nasional”, sedangkan dasar kodrat hidup dan kemerdekaan mewarnai cara penyelenggaraan pendidikan yang disebut “Sistem Among”. Corak Pendidikan Nasional di sini diartikan bahwa pendidikan didasarkan pada kebudayaan kebangsaan, tidak menolak kebudayaan asing tetapi dapat menerima unsur-unsurnya yang tidak merusak kebudayaan sendiri serta selama mampu digunakan untuk menyempurnakan budaya sendiri. Budaya sendiri dijadikan titik tolak dan dasar pendidikan dengan catatan tidak bertentangan atau merugkan kemanusiaan sedunia. Pendidikan nasional ini harus diperuntukkan bagi seluruh warga negara dan menjadi kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakannya. Dari sistem among inilah Ki Hadjar Dewantara mengarahkan para pendidik terutama guru-guru di Perguruan Taman Siswa agar berfungsi sebagai “pamong”, yang tidak memerintah dan tidak memberi melainkan “tut wuri handayani”, artinya mengikuti dari belakang sambil terus-menerus menumbujkan kekuatan pada anak didik untuk berkembang. Anak didik diberi kesempatan untuk aktif mencari jalan sendiri; pendidik berkewajiban untuk menyingkirkan hal-hal yang diperkirakan berbahaya, sehingga anak didik bebas berkembang mengatur diri sendiri tetapi dengan mengingat kepentingan orang lain demi damainya kehidupan bersama. Isi dan suasana pendidikan diarahkan pada peningkatan kemerdekaan batin, pikiran dan perbuatan peserta didik. Pendidik tidak memberi hukuman dan ganjaran karena tidak sesuai dengan sistem among. Ki Hadjar Dewantara mempergunakan prinsip hukuman alamiah yaitu hukuman harus dirasakan sebagai akibat logis dari perbuatan sendiri. Keakraban hubungan antara pendidik dan anak didik sangat diupayakan, untuk itu anak didik diasramakan dan pendidik bertindak sebagai pengganti orang tua yang mengarahkan terus menerus anak didik menuju ke pencapaian cita-cita mereka, dengan melalui kehidupan bersama dalam alam keluarga besar.

2.3 Lingkungan Pergerakan Pemuda

Pusat pendidikan ketiga dalam konsep Ki Hadjar Dewantara adalah alam pergerakan pemuda, yang diharapkan pimpinannya juga mendasarkan diri pada Panca Dharma. Pergerakan pemuda tidak boleh memisahkan diri dari keluarga maupun pawiyatan. Alam pergerakan pemuda terutama diharapkan menjadi lingkungan pendidikan yang mampu membina pemuda-pemuda melalui pendidikan diri sendiri, memadukan perkembangan kecerdasan, budi pekerti dan perilaku sosial, dengan demikian tri pusat pendidikan masing-masing harus dikembangkan perannya. Perguruan menurut Ki Hadjar Dewantara dijadikan titik pusat dari ketiga pusat tersebut, dan berfungsi sebagai penyambung antara keluarga dan masyarakat.

Sebagaimana sudah disebutkan di atas bahwa tri pusat pendidikan, baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, serta masyarakat luas merupakan educational networks mulai terputus. Pembentukan dan pendidikan dalam arti luas, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.

3. Penilaian Pendidikan Melalui Ujian Nasional

Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orang tua (http://www.unindra.ac.id/PP 17 Tahun 2010.pdf). Kalau hal tersebut dihubungkan dengan tri pusat pendidikan sebagaimana digagas oleh Ki Hajar Dewantara, maka pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan di lingkungan perguruan/pawiyatan, masyarakat di lingkungan pergerakan pemuda, dan orang tua di lingkungan keluarga. Masing-masing mempunyai peran dan fungsi yang berbeda tetapi saling mendukung upaya pusat pendidikan yang satu dan lainnya.

Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional, pemerintah melalui BSNP menyelenggarakan ujian nasional sebagai upaya penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Dalam pasal 66 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Badan Standar Nasional Pendidikan (Departemen Pendidikan Nasional, 2005) ditegaskan bahwa:

(1) Penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) butir c –penilaian hasil belajar oleh pemerintah– bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional.

(2) Ujian nasional dilakukan secara objektif, berkeadilan, dan akuntabel.

(3) Ujian nasional diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun pelajaran.

Perlu dipahami bersama bahwa hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk:

  1. pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan;
  2. dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
  3. penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan;
  4. pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.

(Departemen Pendidikan Nasional, 2005: Pasal 68)

Dengan demikian muara ujian nasional adalah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional. Oleh karena itu agar tujuan tersebut dapat tercapai sebagaimana mestinya, seharusnya masyarakat dan orang tua siswa mendukung sepenuhnya upaya pemerintah menyelenggarakan ujian nasional yang dilakukan secara objektif, berkeadilan, dan akuntabel.

4. Peran Orang Tua Dalam Mempersiapkan Anak Menghadapi Ujian Nasional

Keluarga merupakan lembaga sosial resmi yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Ikatan keluarga didasarkan pada cinta kasih suami isteri sehingga melahirkan anak-anak. Setiap bayi dilahirkan dari seorang ibu, dan idealnya keluarga menyambut kelahirannya dengan suka cita. Orang tua bertanggung jawab dengan jalan memelihara, merawat, melindungi anak sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Keluarga menjadi awal kehidupan seorang anak. Keluarga merupakan kestuan hidup bersama yang pertama dikenal oleh anak, dan karena itu disebut sebagai lingkungan pendidikan utama.

Pada masyarakat tradisonal, keluarga memegang peran utama dalam menyiapkan generasi muda untuk menjadi manusia mandiri. Orang tua dan orang dewasa lain dalam keluarga tradisional berfungsi mengasuh dan membimbing anak dalam berbagai bidang kehidupan, melatih berbagai keterampilan dan tradisi. Pada masyarakat modern, keluarga menyerahkan sejumlah fungsinya dalam pendidikan kepada lembaga-lembaga lain yang khusus betugas menangani hal tersebut. Orang tua dan keluarga membatasi kegiatannya pada pengasuhan dasar dan bekerja sama dengan sekolah dalam mendorong anak dan mengawasi pendidikan mereka.

Kompetisi yang ketat menyebabkan orang tua dari “keluarga modern” menuntut anak-anaknya untuk berprestasi tinggi tanpa peduli proses yang terjadi, sehingga anak-anak tertekan untuk menghasilkan skor bagus dengan segala cara. Orang tua lebih senang menyerahkan anaknya kepada guru di sekolah dan guru-guru les di luar jam sekolah (Wirawan, 2010).

Perkembangan pola pendidikan keluarga akhir-akhir ini terancam degradasi karena pengaruh di luar keluarga yang demikian kuat pengaruhnya. Berbagai tuntutan sosial ekonomi yang makin meningkat, agar keluarga tetap eksis, mendorong setiap orang tua bekerja keras untuk menyiapkan masa depan anaknya. Di satu sisi upaya tersebut harus dihargai karena orang tua ingin kehidupan anaknya kelak lebih baik dibandingkan dirinya di masa lalu. Namun di si sisi lain berakibat anak kurang mendapatkan sentuhan jiwani dalam bentuk kasih sayang. Materi menjadi tolok ukur keberhasilan hidup suatu keluarga. Gambaran kehidupan keluarga semacam ini dengan jelas banyak digambarkan dalam sinetron-sinetron kita yang justru banyak ditiru. Pendidikan watak dalam keluarga oleh orang tua sudah digantikan perannya oleh orang tua ambisius dalam sinetron, yang secara materi dan sosial terhormat di lingkungannya. Memang banyak pula orang tua “baik-baik” dan “bijaksana” dalam sinetron tersebut, tetapi pada umumnya mereka hidupnya susah sehingga cenderung tidak diteladani sebagai rujukan perilaku kita.

Kita yang arif mungkin dapat berkilah, “Ah, itu kan sinetron”. Tetapi kita pun harus arif pula, bahwa penyampaian informasi (pembelajaran) lebih mengena dan mengesan serta mudah ditiru dalam bentuk audio visual, dan inilah yang mampu mendegradasikan pendidikan keluarga.

Tanggung jawab orang tua bukan sebatas memilihkan sekolah atau membiaya sekolah dan segala keperluanya. Lebih dari itu, tanggung jawab orang tua diwujudkan dalam keterlibatan langsung orang tua dalam pendidikan (kehidupan) anak-anaknya. Ketika orang tua terlibat langsung dalam kehidupan dan pendidikan anak-anaknya, maka mereka akan memberi perlakuan yang lebih tepat kepada anak-anak. Hasil-hasil penelitian Henderson dan Mapp (2002), dan National Standards for Parent/Family Involvement Programs (2004, dalam Kurniawan, 2008) membuktikan bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak berhubungan dengan prestasi anak :

a. Ketika orang tua terlibat –tanpa melihat status sosial ekonomi, latar belakang etnis/ras atau tingkat pendidikan orang tua– anak-anak menunjukkan prestasi yang lebih tinggi,

b. Ketika orang tua terlibat dalam pendidikan anak-anaknya, anak-anak mereka memiliki skor tes yang lebih tinggi, lebih sering menyelesaikan pekerjaan rumah, dan lebih tinggi dalam kehadiran di sekolah

c. Dalam program yang dirancang untuk melibatkan orang tua dalam kemitraan yang penuh, prestasi anak-anak dari keluarga yang tidak beruntung tidak hanya meningkat tetapi juga mampu mencapai level standar seperti yang dipersyaratkan bagi anak-anak dari status sosial ekonomi menengah.

d. Para siswa kemungkinan besar mengalami kemunduran dalam prestasi akademik jika orang tua tidak berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sekolah, tidak mengembangkan sebuah hubungan yang menguntungkan dengan guru, dan tidak memantau apa yang terjadi di sekolah anak-anak mereka

e. Anak-anaknya lulus dari sekolah dengan nilai yang lebih tinggi,

f. Anak-anaknya memiliki kemungkinan besar untuk memasuki pendidikan tinggi,

Di depan telah disebutkan bahwa setiap individu sejak kelahirannya sudah membawa bekal hakikat manusia tersebut di atas yang dalam pengembangan diri dan kehidupan selanjutnya dilengkapi lima dimensi kemanusiaan, salah satunya adalah dimensi kefitrahan. Kata kunci yang menjadi isi dimensi kefitrahan adalah kebenaran dan keluhuran (Prayitno, 2009). Dengan dua kata kunci ini dapat dimaknai bahwa individu manusia itu pada dasarnya bersih dan mengarahkan diri pada hal-hal yang benar dan luhur, serta menolak hal-hal yang salah, tidak berguna dan remeh, serta tidak terpuji. Kandungan dimensi kefitrahan ini dapat dibandingkan makna teori tabula rasa John Locke. Teori tabula rasa menyatakan bahwa individu ketika dilahirkan ibarat kertas putih, bersih dan belum bertuliskan apapun. Dalam hal kebersihan, hal itu menjadi juga ciri kefitrahan individu: ”individu dilahirkan dalam keadaan bersih”; teori tabula rasa sama dengan hakikat kefitrahan. Dengan kefitrahannya itu, individu memang pada dasarnya, sejak dilahirkan, dalam keadaan bersih. Namun kondisi ”belum bertuliskan apapun” sebagaimana dinyatakan oleh teori tabula rasa, tidaklah menjadi ciri dimensi kefitrahan yang dimaksud itu. Di dalam dimensi kefitrahan telah tertuliskkan kaidah-kaidah kebenaran dan keluhuran yang justru menjadi ciri kandungan utama dimensi ini. Cermati hadis Rasulullah saw bahwa, ”Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Nasrani, Yahudi, atau Majusi”. Kefitrahan setiap bayi yang baru dilahirkan adalah membawa potensi fitrah yang harus dikembangkan.

Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruhnya), demikan Asyura menafsirkan surat Ar-Rum ayat 30 (2003, dalam Chalil, 2010). Manusia berjalan dengan kedua kakinya adalah fitrah jasadi (jasmani)nya, kemampuan manusia merumuskan masalah dan mengambil kesimpulan adalah fitrah akliah (akal)nya, kemampuan manusia menerima ilham, dan memanfaatkan bashirah adalah fitrah ruhiyah-nya. Jadi dengan demikian dimensi kefitrahan tidak sama dengan tabula rasa menurut John Locke.

Dimensi kefitrahan dengan demikian semestinya dijadikan basis dalam pendidikan karakter dalam keluarga. Rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan. Sebagaimana disarankan Philips (2000, dalam Nurokhim, 2010), keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah).

Pada sesi kedua pembukaan Rembuk Nasional Pendidikan 2010 (3/03), menghadirkan mantan Menteri Pertahanan Nasional Juwono Sudarsono sebagi pembicara dalam seminar yang berjudul “Peranan Pendidikan dalam Pembangunan Karakter Bangsa“. Seminar yang dipandu oleh Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal ini banyak membahas mengenai pembentukan identitas bangsa sebagai wahana pendidikan yang berkarakter. Sudarsono mengatakan bahwa pendidikan karakter yang terpenting dimulai dari seorang ibu. Betapapun kuatnya pengaruh sekolah formal, informal dan non formal, Ibulah yang menanamkan nilai-nilai yang diperlukan dalam kehidupan. Ibu mengajarkan semangat juang dan pantang menyerah. Selain ibu, faktor lingkungan seperti rumah yang nyaman dan kondusif adalah tempat yang paling tepat bagi seorang anak untuk menumbuhkan rasa percaya diri, berdaya saing dan beradab (http://www.dikti.go.id, 2010).

Senada dengan Sudarsono, Wirawan (2010) menyatakan bahwa beberapa hal yang memungkinkan seorang ibu mempunyai peran dalam kebangkitan pendidikan nasional “melalui pendidikan dalam keluarga” antara lain pertama, orang tua khususnya ibu, adalah agen utama pendidikan bagi putra-putrinya. Kedua, di hadapan Tuhan dan masyarakat dunia, orang tualah yang seyogyanya mengemban tanggung jawab terhadap anak-anaknya, terutama sewaktu mereka masih di bawah pengawasan kita. Ketiga, ibulah yang pertama kali mengenal anaknya, menyusui, dan membesarkannya, sehingga ibulah orang pertama yang menanamkan nilai-nilai penting dan berharga yang menjadi pedomannya untuk menjalani kehidupan ini. Keempat, orang patut aktif berdiskusi dengan guru-guru di sekolah anaknya mengenai hal terbaik bagi perkembangan anaknya. Kelima, orang tua perlu memantau kemajuan ataupun hambatan belajar anaknya, khususnya di rumah. Pada waktu-waktu tertentu, seyogyanya orang tua membahas bersama anak mengenai permainan yang baik, bacaan yang sehat, teknologi informasi yang berguna dan cara pemanfaatannya, film dan musik yang baik untuk dinikmati, bahkan dengan siapa sebaiknya anak bergaul dengan cara yang seperti apa. Keenam, nilai-nilai terbaik yang bersumber dari kitab suci seyogyanya ditanamkan pula kepada anak-anak: kejujuran, kebaikan, kasih sayang, kepedulian, kesetiaan, kedamaian, keterbukaan, kelemahlembutan, penguasaan diri, kesabaran, kemurahan, dan sebagainya.

Penulis ingat betul ketika ibu di rumah dan ibu guru di sekolah dasar sering menceritakan kisah keluarga Pandawa dan Kurawa, bahwa “pendidikan karakter” yang dilakukan Dewi Kunti terhadap kelima anak laki-lakinya ternyata memberikan dampak yang jauh berbeda dengan Dewi Gandari terhadap seratus anak-anaknya, laki-laki dan perempuan. Hasil pendidikan Dewi Kunti menggambarkan anak didik yang bermartabat berperilaku santun, tidak mudah putus asa, selalu bersemangat, menjunjung tinggi kebersamaan, teliti dan hati-hati, kejujuran, kesabaran, kesetiaan, dan perilaku-perilaku yang menggambarkan karakter baik. Sementara itu di sisi lain karena kedengkian dan keirihatian Dewi Gandari menular kepada anak-anaknya yang nampak dalam perilakunya yang culas, gembira di atas penderitaan orang lain, suka mencelakakan orang lain, curang, ceroboh, dan perilaku-perilaku lain yang negatif. Pemimpin negara yang lahir dari keluarga Dewi Kunti adalah pemimpin yang demokratis dan melindungi rakyatnya, sementara dari didikan Dewi Gandari melahirkan pemimpin negara yang korup, penindas rakyat dan anarkis.

Pengembangan pendidikan yang dilakukan oleh Dewi Kunti adalah pendidikan yang bermuatan soft skill yaitu pendidikan yang tidak semata-mata mementingkan aspek kognitif dan prestasi unggul, tetapi juga akhlakul karimah, moral dan perilaku yang baik. Jika pendidikan keluarga mengembangkan pendidikan karakter, sudah pasti ke depan bangsa kita menjadi bangsa yang disegani oleh bangsa-bangsa lain karena perilakunya yang cerdas dan santun.

Istadi (2007) dan Prayitno (2009) mengingatkan bahwa, keteladanan orang tua sangat penting dalam pembentukan karakter anak, karena sejak kecil mereka selalu berusaha meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Cara peniruan yang paling awal dan “primitif” dapat dilihat pada hubungan antara anak dengan orang tuanya. Melalui peniruan-peniruan awal itulah seorang bayi mulai secara aktif mengarahkan diri untuk memasuki lingkungan sekitarnya; melalui peniruan-peniruan itu pulalah anak terarah menjadi bagian dari lingkungan, terutama lingkungan sosialnya. Betapa pentingnya peniruan itu dapat ditangkap dengan menyimak kalimat-kalimat, “tanpa peniruan kehidupan kemanusiaan tidak akan berkembang”; “tidak akan ada kehidupan manusiawi tanpa peniruan”; “peniruan adalah dasar kehidupan bersama”.

Melalui pengarahan dan peniruan-peniruan itu pula anak mengikatkan diri kepada (sejumlah) significant persons, yaitu orang-orang yang besar pengaruh, peranan, dan artinya bagi anak. Anak-anak memfokuskan peniruannya kepada orang yang sngat dekat dan penting bagi dirinya itu; dalam hal ini biasanya adalah kedua orang tuanya. Anak banyak meniru dari kedua orang tuanya.

Berkat peniruan yang intensif dalam pergaulan lingkungan keluarga, terbentuklah tokoh identifikasi, yaitu tokoh yang dianggap selalu benar, tokoh yang menjadi pusat peniruan dan panutan, tokoh ideal dan idola bagi anak atau peserta didik. Di sinilah keteladanan orang tua memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan karakter.

Kebanyakan orang tua memandang sepele masalah keteladanan ini, hingga melupakannya dalam banyak persoalan. Padahal, peran keteladanan ini berlaku dalam segala keadaan, dari yang besar hingga yang sepele sekalipun.

Jangan heran jika orang tua kewalahan meminta anak pergi mengaji, sementara anak tidak pernah melihat orang tuanya mengaji. Bahkan ketika memotivasi anak untuk belajar di rumah pun menjadi jauh lebih mudah ketika ayah ibunya pun turut mendemonstrasikan kesibukan mereka membaca di depan anak-anaknya.

Ambil buku, baca dan pelajarilah dengan serius, maka anak akan meneladaninya. Belilah buku-buku terbaru di toko buku, baca dan buat catatan-catatan kecil jika perlu, demonstrasikan itu di depan anak. Maka mereka akan mencontohnya walau tanpa diperintah. Usahakan setiap selesai sholat maghrib membaca Al-Qur’an di samping anak, maka mereka pun antusias meniru perilaku kita. Belajar sepanjang hayat menjadi teladan bagi anak untuk terus belajar, tidak hanya belajar menjelang ulangan, apalagi menjelang ujian nasional.

Teladan memang proses utama dalam mendidik anak. Jadi, orang tua yang menginginkan anaknya berhasil dalam ujian nasional bukanlah seperti kegiatan sulap “bim salabim jadilah ….”. Pendidikan orang tua di rumah merupakaan proses panjang yang harus dilakukan setahap demi setahap untuk mencapai tujuan pendidikan. Ujian nasional yang dianggap “momok” oleh kebanyakan orang, tidak berlaku bagi orang tua yang selalu mendampingi belajar anaknya, memberi fasilitas yang cukup, perhatian yang sungguh-sungguh, membekali anak bahwa belajar harus dilandasi dengan sikap objektif, kejujuran, dan akuntabilitas.

C. SIMPULAN

Pendidikan adalah suatu proses dinamis yang dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri anak didik dan dari faktor di luar dirinya. Berbagai upaya pendidikan diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Peran orang tua –selain pemerintah dan masyarakat– sangat penting dalam mencapai tujuan suksesnya tujuan pendidikan nasional. Dengan mengoptimalkan perannya tersebut, orang tua dapat membantu anak mempersiapkan diri dalam mengikuti ujian nasional dengan percaya diri, jujur, dan sungguh-sungguh. Peran orang tua yang demikian pada akhirnya dapat memberikan kontribusi bagi pelaksanaan ujian nasional yang objektif, jujur, berkeadilan dan akuntabel.

D. DAFTAR PUSTAKA

Chalil, Achjar. 2008. Pembentukan Karakter Peserta Didik melaui Pendekatan Pembelajaran Berbasis Fitrah. Tersedia on line di http://agupenajateng.net/ 2009/02/13/pembentukan-karakter-peserta-didik-melalui-pendekatan-pembelajaran-berbasis-fitrah/ diunduh 5 Mei 2010

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

--------.2005. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Badan Standar Nasional Pendidikan.

Gultom, Andri Fransiskus. 2010. Ujian Nasional: Antara Strategi dan Tragedi. Materi Talkshow Edukasi: Ujian Nasional Antara Srategi dan Tragedi. Tersedia di http://radioharmonifm.com/home/materi-talkshow-edukasi-ujian-nasional-antara-strategi-dan-tragedi/ diunduh 7 Maret 2011.

http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1053:peranan-pendidikan-nasional-dalam-pembangunan-karakter-bangsa&catid=143: berita-harian, 5 Mei 2010

Istadi, Irawati. 2007. Melipatgandakan Kecerdasan Emosi Anak. Bekasi: Pustaka Inti.

Kurniawan, Irwan Nuryana. 2008. Mengapa Orang Tua Perlu Terlibat Dalam Pendidikan Anak. Tersedia dalam http://kurniawan.staff.uii.ac.id/2008/08/22/ mengapa-orangtua-perlu-terlibat-dalam-pendidikan-anak/ diunduh 10 Maret 2011.

Nurokhim, Bambang. 2007. Membangun Karakter dan Watak Bangsa Melalui Pendidikan Mutlak Diperlukan. Tersedia on line di http://www.tnial.mil.id/ Majalah/Cakrawala/ArtikelCakrawala/tabid/125/articleType/ArticleView/articleId/200/Default.aspx, 5 Mei 2010.

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Tersedia di http://www.unindra.ac.id/PP 17 Tahun 2010.pdf diunduh 14 Januari 2010.

Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Tersedia di http://www.kopertis4.or.id/aturan/Peraturan Pemerintah/2010/pp66-2010-1.pdf diunduh 15 Januari 2010.

Prayitno. 2009. Pendidikan Dasar Teori dan Praksis. Padang: UNP Press.

Satmoko, Retno Sriningsih. 1999. Landasan Kependidikan (Pengantar ke arah Ilmu Pendidikan Pancasila). Semarang: IKIP Semarang Press

Wirawan, Henny E. 2010. Bunda Agen Kebangkitan Pendidikan. Majalah Psikologi Plus Volume IV Nomor 11/Mei 2010. Semarang: Nico Sakti.



[1] Makalah pendamping dalam Seminar Nasional Asosasi Bimbingan dan Konseling Indonesia dengan tema “Peran Guru, Konselor, Kepala Sekolah, Orang Tua, Masyarakat dan Pemerintah Daerah Dalam Membantu Siswa Menghadapi Ujian Nasional Yang Sukses, Jujur dan Akuntabel” di LPMP Semarang: Minggu, 13 Maret 2011

[2] Lektor Kepala Kopertis VI Jawa Tengah dpk pada Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus, sekarang juga menjabat sebagai Dekan FKIP.