Rabu, 30 April 2008

Contoh Makalah


PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI SMP NEGERI 1 KEDU KABUPATEN TEMANGGUNG

Air Titik Wardhani, M.Pd.

Bab I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan nasional bangsa Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rokhani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan ini selaras dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Sementara itu dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Dalam dua Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut di atas, nampak adanya keberlanjutan tujuan pendidikan, dan nyatalah bahwa budi pekerti luhur atau akhlak mulia menjadi salah satu unsur penting dalam pendidikan nasional Indonesia.

Budi pekerti luhur yang merupakan salah satu komponen dari keseluruhan tujuan pendidikan nasional, akhir-akhir ini menjadi issu pendidikan nasional. Syarat kelulusan dan kenaikan kelas siswa sekolah mulai tahun 2000 ini dikaitkan dengan budi pekerti. Riilnya, prestasi belajar tinggi (NEM dan STTB, nilai raport) tidak menjamin siswa lulus dan/atau naik kelas jika budi pekertinya jelek.

Wacana pendidikan budi pekerti sebenarnya bukan sesuatu yang asing, sebab selama ini sebenarnya telah hadir dalam pendidikan, tetapi senantiasa terpendam. Perkembangan pendidikan yang mau tidak mau harus bersentuhan dengan IPTEK, telah melenakan kita untuk mengejar aspek kognitif semata. Sekolah dikatakan berhasil jika lulusannya menghasilkan NEM yang tinggi-tinggi, lulusannya banyak diterima di sekolah lanjutan (SMA) favorit maupun di perguruan tinggi negeri lewat seleksi UMPTN bagi lulusan SMA. Siswa dikatakan berhasil jika ia lulus dan naik kelas dengan nilai tinggi, tidak peduli apakah nilainya tersebut diperoleh dari lihainya mencontek atau pun memperoleh bocoran soal dengan membayar sekian ribu rupiah.

Issu globalisasi pada akhir abad ke 20 mendorong pendidik (guru, orang tua dan masyarakat) mengarahkan peserta didik berorientasi pada hal-hal yang bersifat praktis. Konsentrasi guru mata pelajaran dan peserta didik mengarah pada bagaimana mencapai hasil belajar (nilai) seoptimal mungkin agar dapat bersaing dalam era global. Mereka lupa bahwa ada aspek mendasar yang seharusnya merupakan sinergi dari aspek kognitif dan keterampilan yaitu aspek budi pekerti. Ronald Reagan (dalam Sudharto 2000, 1) menyatakan bahwa dalam hal memahami prinsip-prinsip kalkulus, anak-anak boleh saja dibiarkan menemukan jalan mereka sendiri, tetapi cara yang sama tidak boleh dibiarkan dalam hal etika, moral dan nilai. Bangsa Amerika yang kita kenal sebagai bangsa yang serba hebat, dan sekuler, ternyata tetap memegang prinsip bahwa nilai, etika, dan moral merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan kegiatan mendidik. Mengapa justru kita di Indonesia baru meyadarinya setelah sekian lama membangun dalam format tahapan Repelita. Mungkin para pembuat kebijakan di pusat baru menyadari bahwa orientasi pendidikan kita lebih cenderung ke ranah kognitif, sehingga pada akhirnya keterpurukanlah yang dialami oleh bangsa Indonesia sekarang ini.

Nampaknya pelaksanaan pendidikan budi pekerti tidak dapat ditawar-tawar lagi, dan memang seharusnya demikian. Sebab pendidikan budi pekerti merupakan butir-butir mutiara yang terdapat dalam tujuan pendidikan nasional Indonesia, dimana untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut dibutuhkan kerja sama antara semua komponen pendidik. Berbagai nilai, moral, dan etika yang ada di masyarakat dapat diusung sebagai acuan oleh sekolah, keluarga dan masyarakat untuk ditransfer menjadi bahan belajar bagi peserta didik

B. Rumusan Masalah

Mendiknas kita saat itu, Yahya Muhaimin, beberapa saat setelah dilantik mengeluarkan tiga kebijakan sebagai pedoman Departemen Pendidikan Nasional, yaitu: peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan budi pekerti, dan pengembangan budaya baca tulis. Ketiga hal tersebut diharapkan menjadi landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk berperan aktif dalam dunia global mendatang.

Sebenarnya komitmen bangsa Indonesia terhadap pendidikan budi pekerti cukup kuat. Sepanjang sejarah, budi pekerti selalu menjadi bagian dari proses pendidikan di sekolah, Meskipun pada saat ini masalah yang berkaitan dengan sikap dan perilaku, baik antara sesama maupun dengan Tuhan lebih menjadi bahan kajian, bahan hafalan, dan bukan sesuatu yang lebih ditekankan pada praktek penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka pertanyaan perlu dipecahkan, yaitu : Bagaimanakah aplikasi pendidikan budi pekerti?


Bab II

KAJIAN TEORI DAN FAKTA YANG DIPERMASALAHKAN

A. Pendidikan Budi Pekerti

Penulis menggagas bahwa ada tiga hal pokok yang perlu dipahami dalam mengkaji pendidikan budi pekerti, yaitu :

1. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi perananannya di masa yang akan datang (pasal 1 UU Nomor 2/1989).

2. Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (pasal 4 UU Nomor 2/1989).

3. Budi berarti akal (sebagai alat batin untuk menimbang baik buruk, benar tidak, dan sebagainya), tabiat, watak, akhlak, perangai. Budi pekerti berarti perangai, akhlak (Purwadarminta 1982: 158).

Dengan demikian budi pekerti pada hakikatnya merupakan kemampuan jiwani manusia untuk berbuat dengan menimbang perbuatannya itu baik ataukah buruk, benar ataukah salah, sopan ataukah tidak sopan, beradab ataukah biadab, dan sebagainya.

Pendidikan budi pekerti merupakan isu terbaru di dunia pendidikan Indonesia mulai 1990-an. Lebih-lebih pada masa reformasi dan globalisasi yang justru membuat negeri dan bangsa ini amburadul. Krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan manusia Indonesia kehilangan hati nuraninya, tipis kemanusiaan-nya. Warga masyarakat kita mudah tersulut untuk melakukan penjarahan, pembunuhan, pengrusakan, dan pengadilan jalanan. Dalam kesendirian penulis, penulis sering merenung “Inikah wajah bangsa kita yang mencerminkan manusia Indonesia seutuhnya, yang dapat menyelesaikan Pelita I sampai V dengan teknologi dirgantaranya, tetapi justru kehilangan budi pekerti luhur?”

Pendidikan kita (sesuai dengan poin 2 di atas) tidak hanya mementingkan aspek pengetahuan dan keterampilan tetapi lebih dari itu adalah keluaran yang berbudi pekerti luhur (Daniel Goleman, 1997, menyebutnya dengan kecerdasan emosinal – emotional intelligence). Manusia Indonesia seutuhnya adalah manusia yang terampil, cerdas nalar dan cerdas emosinya.

Pendidikan budi pekerti pada hakikatnya adalah pendidikan afeksi. Materi pendidikan afeksi (Pidarta 1997: 105-106) selain bersumber dari bidang studi yang membahas moral Pancasila dan ajaran agama, sebaiknya dilengkapi dengan nilai-nilai dan adat-istiadat yang masih hidup di masyarakat Indonesia serta budi pekerti luhur yang tetap dijunjung di bumi Indonesia ini. Menggaris bawahi pendapat Pidarta, penulis menganggap nilai-nilai, adat-istiadat serta budi pekerti luhur yang berasal dari ajaran Ranggawarsita, Mangkunegara, Ki Hajar Dewantara, Ki Ageng Suryamentaram, RMP Sosrokartono, dan lain sebagainya hendaknya digali kembali dan ditanamkan dalam pendidikan. Pendidikan budi pekerti (afeksi) semestinya menjadi satu kesatuan yang utuh dengan aspek kognisi, dan psikomotor dalam setiap perbuatan mendidik. Segi afeksi yang sering diabaikan hendaknya diperhatikan menjadi satu kesatuan yang utuh dengan setiap mata pelajaran di sekolah maupun setiap tutur orang tua kepada anak-anaknya.

B. Pendidik Pendidikan Budi Pekerti

Ki Hajar Dewantara mengembangkan pendidikan melalui tri pusat pendidikan yaitu pendidikan dilakukan di dalam keluarga, sekolah dan masyarakat yang dilaksanakan oleh orang tua (dan orang dewasa lainnya dalam keluarga), guru (guru kelas, guru pembimbing, guru mata pelajaran, guru praktik), dan masyarakat (orang yang dituakan di masyarakat luas/RT/RW, pemuka agama, pemimpin organisasi, dan sebagainya). Masing-masing pusat pendidikan tersebut beserta pendidiknya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam mendewasakan peserta didik. Walaupun ketiganya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang berbeda-beda, tetapi ketiganya juga harus bekerja sama secara serasi-selaras-seimbang. Pendek kata, setiap orang dewasa berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap proses pendewasaan peserta didik, demikian idealnya. Bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan –sebagai wujud pendidikan- bukan hanya tugas guru, tetapi juga tugas dan kewajiban orang tua dan masyarakat (pasal 1 ayat 10 UU Nomor 2/1989, pasal 4 PP 39/1992).


Bab III

TINJAUAN/ULASAN

Aplikasi Pendidikan Budi Pekerti di SMP Negeri 1 Kedu Kabupaten Temanggung

Pendidikan budi pekerti dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, Pendidikan dalam keluarga memberikan keyakinan agama, nilai budaya yang mencakup nilai moral dan aturan-aturan pergaulan serta pandangan, keterampilan, dan sikap hidup yang mendukung kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kepada anggota keluarga yang bersangkutan. Di sekolah, pendidikan budi pekerti dilaksanakan oleh semua guru (guru pembimbing, guru mata pelajaran, guru praktik, guru kelas). Materi pendidikan budi pekerti melekat pada setiap mata pelajaran, sehingga tidak memerlukan waktu, tenaga, dan dana tersendiri. Idealnya setiap guru dalam melakukan kegiatan membimbing, mengajar dan/atau melatih, materi pendidikan budi pekerti masuk di dalamnya (bersifat kontekstual). Setiap guru dalam mengembangkan pengetahuan, penalaran dan keterampilan (misalnya menjumlah, mengurangi, mengalikan, menghubungkan gejala yang satu dengan lainnya, menggambarkan suatu peristiwa sejarah masa lampau, melakukan percobaan raksi kimia, membedah tubuh binatang, memukul bola voli yang benar), mengembangkan demokrasi, disiplin terhadap tata tertib, keterbukaan, keberanian mengemukakan pendapat, harus diimbangi dengan penanaman sikap tenggang rasa, menghargai pendapat orang lain, tidak merasa dirinya paling segalanya (rumangsa bisa berbeda jauh dengan bisa rumangsa). Masyarakat berperan dalam mengembangkan dan melestarikan norma dan nilai moral serta nilai budaya yang berlaku di dalam keluarga (pada umumnya) dan sekolah. Masyarakat memberikan dukungan situasi dan kondisi yang memungkinkan anak mengembangkan potensinya secara baik, memberikan dorongan ke arah perkembangan yang positif, menanamkan dan mengembangkan nilai moral dan kehidupan sosial yang patut, mengeliminasi nilai moral dan nilai budaya yang tidak mendukung perkembangan budi pekerti luhur (misalnya kebiasaan begadang yang tidak ketahuan juntrungnya, setiap kali mememperoleh keberhasilan dalam sesuatu diadakan pesta dengan minum minuman keras, pesta narkoba, berjudi, sabung ayam).

Sekarang ini, dengan adanya isu pendidikan budi pekerti merupakan salah satu syarat yang menentukan kelulusan dan kenaikan siswa (Alfian M, 2000), banyak kalangan yang kebakaran jenggot. Sekolah kebingungan bagaimana merumuskan aspek-aspek budi pekerti yang menentukan siswa lulus atau tidak lulus, dan naik kelas atau tidak naik kelas, sehingga justru tidak menjadi bumerang bagi sekolah. Orang tua tidak rela jika anaknya tidak lulus atau tidak naik kelas karena sering membolos, tertangkap basah oleh guru pada merokok di kantin sekolah, sering tidak mengerjakan PR, sering membantah perintah guru, sering tidak menuruti nasihat guru. Masyarakat ada yang menganggap bahwa pendidikan budi pekerti merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan proses pendidikan, sehingga merupakan aspek yang menentukan pertimbangan lulus atau tidak lulus, dan naik kelas atau tidak naik kelas. Ada pula segolongan masyarakat yang tidak peduli dengan wacana pendidikan budi pekerti yang berkembang sekarang ini.

Pendidikan budi pekerti seharusnya masuk menjadi kesatuan yang utuh dengan pendidikan secara menyeluruh. Materi pendidikan budi pekerti bukan untuk dihafalkan (seperti yang sudah-sudah contoh konkritnya adalah hafalan tentang butir-butir Pancasila dalam P4), melainkan dipahami, dihayati dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari. Misalnya di rumah orang tua menghargai anak-anaknya dalam setiap kesempatan (memilih baju, memilih lauk mana yang akan dimakan saat makan bersama, memilih acara tivi yang menarik minat anak-anak). Di sekolah guru memberi kesempatan kepada setiap siswa untuk tidak setuju dengan pendapat guru yang tidak relevan (misalnya anak yang terlambat disuruh mengepel teras kelasnya), dan siswa boleh berpendapat apa yang seharusnya ia lakukan atas pelanggaran tata tertib sekolah itu. Di masyarakat, masyarakat memberikan solusi dan kesempatan kepada anak yang pada jam sekolah ada di gang-gang kampung. Anak-anak diajak berbicara mengapa ia melakukan hal itu, dan bagaimana yang sebaiknya anak-anak itu lakukan.

Prinsip dasar pendidikan budi pekerti adalah Ing ngarsa sung tuladha – Ing madya mangun karsa – Tut wuri handayani. Jika prinsip ini dilaksanakan secara konsekwen oleh orang tua, guru, dan masyarakat, maka pendidikan budi pekerti akan mudah diserap dan diaplikasikan oleh anak didik. Dengan prinsip among, kepribadian pendidik dan peserta didik nampak dalam wujud Catur Murti yaitu perpaduan, kesatuan, satunya pikiran, perasaan, perbuatan, dan perkataan. Asal mulanya pikiran, diselaraskan dengan perasaan, menimbulkan kehendak untuk berbuat, untuk berkata.

Pikiran, tak memiliki bentuk (wujud), sendiri, suka mengembara jauh. Karena itu kendalikanlah pikiran, agar terbebas dari godaan. Orang yang dapat mengendalikan pikiran, menguasai pikiran; batinnya selaras (nglaras batos saha raos), maka : perbuatan dan perkataannya penuh kebijaksanaan. Ia menjadi pribadi yang tenang, damai dan bahagia. Pribadi semacam itu selaras dengan ucapan Sosrokartono : “I am the sword. I defend the weak” (Saya adalah pedang. Pedang itu saya gunakan untuk mempertahankan/melindungi yang lemah).

Bimbingan dan konseling sebagai salah satu unsur pendidikan sekolah mempunyai tempat strategis dalam mengembangkan pendidikan budi pekerti, baik ke dalam maupun ke luar. Ke dalam adalah berbentuk layanan yang diberikan kepada siswa, unsur-unsur pendidikan budi pekerti masuk secara integratif ke dalam setiap materi layanan. Dengan demikian siswa tidak hanya memperoleh materi layanan, tetapi juga memperoleh pemahaman dan penghayatan tentang pendidikan budi pekerti dan langsung dipraktikkan dalam kegiatan layanan tersebut. Ke luar adalah dalam bentuk kerja sama dengan guru mata pelajaran, guru praktik, guru kelas, orang tua dan masyarakat. Guru pembimbing memberikan dorongan agar pendidikan budi pekerti masuk secara integratif dan kontekstual dengan perbuatan mendidik dan mengajar. Aplikasinya antara lain pada waktu pelajaran ada siswa yang tidak mengerjakan PR, guru mata pelajaran dapat berdiskusi dengan siswa tersebut mengapa ia tidak mengerjakan PR dan bagaimana seharusnya jika ia tidak mengerjakan PR. Dengan cara semacam ini siswa mempunyai respek terhadap guru mata pelajaran. Tetapi jika setiap kali siswa yang tidak mengerjakan PR, diusir dari kelas dan harus menemui guru pembimbing, maka siswa yang bersangkutan bisa jadi mendendam terhadap perlakuan guru mata pelajaran dan tidak menyelesaikan masalah.

Aplikasi pendidikan budi pekerti juga dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pembiasaan, yaitu siswa dengan bimbingan guru melakukan kebiasaan-kebiasaan yang positif, misalnya:

1. Setiap masuk jam pertama semua guru yang mengajar jam pertama tersebut harus berdiri di depan pintu kelas, semua siswa masuk kelas berjabatan tangan dengan guru. Demikian pula pada saat jam terakhir, guru yang mengajar jam terakhir berdiri di pintu ke luar kemudian para siswa kelura kelas dengan tertib dan berjabatan dengan guru.

Cara semacam ini untuk mengembangkan kedekatan siswa dengan guru, bukan secara fisik, melainkan secara psikologis. Sentuhan jabat tangan yang hangat mengembangkan hubungan guru dan siswa juga hangat. Oleh karena itu jabat tangan harus disertai dengan perasaan hangat dan respek. Guru hendaknya memperhatikan siswa-siswa yang nampak acuh, kurang hangat, dan perilaku lain yang ”negatif” dala jabat tangan tersebut, dan pada kesempatan lain mungkin perlu ada ”bincang-bincang” dengan siswa yang bersangkutan. Demikian pula guru pun harus melakukan pembiasaan jabat tangan dengan siswa tersebut secara tulus, ikhlas. Pancaran hati guru yang tulus dan ikhlas mengalir melalui mata, wajah, dan tangan yang hangat dan akrab, berpengaruh pada psikis siswanya.

2. Guru membiasakan diri memanggil mbak dan mas kepada semua siswanya, dan semua siswa dibiasakan memanggil mas dan mbak kepada kakak kelasnya ---meskipun badan kakak kelasnya kecil, misalnya---, dan memanggil dik kepada adik kelasnya.

3. Mengembangkan sikap peduli terhadap lingkungan sekitar melalui teladan guru, misalnya setiap ada sampah diambil dan dimasukkan ke keranjang sampah terdekat, mematikan lampu yang tidak digunakan, menutup kran air yang tidak digunakan. Guru dapat melakukan keteladanan ini tanpa harus menyuruh tukang kebun, misalnya guru melihat sampah, diambil, dimasukkan ke tempat sampah.


Bab IV

Kesimpulan

Pemaparan tentang pendidikan budi pekerti tersebut dapat penulis simpulkan dalam poin-poin sebagai berikut :

1. Pendidikan budi pekerti merupakan salah satu unsur penting dalam kegiatan pendidikan. Pendidikan budi pekerti bersumber pada nilai dan moral, adat-istiadat, dan nilai budaya yang masih berkembang di Indonesia.

2. Pendidik pendidikan budi pekerti adalah keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga komponen tersebut mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam pendidikan budi pekerti. Masing-masing mempunyai bidang garapan yang berbeda tetapi harus selalu terkait dan bekerja sama.

3. Aplikasi pendidikan budi pekerti hendaknya menjadi satu kesatuan yang utuh dengan perbuatan mendidik dan mengajar, melalui kegiatan-kegiatan pembiasaan. Usaha menanamkan pengetahuan dan penalaran disertai dengan menanamkan dan mengembangkan nilai moral, adat-istiadat dan nilai budaya secara integratif dan kontekstual. Dengan demikian hasil belajar siswa tidak hanya berupa pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga berbudi pekerti luhur antara lain dalam bentuk menghargai orang lain, tenggang rasa, demokratis, bisa rumangsa, percaya pada diri sendiri, menjunjung nilai moral dan agama, adat-istiadat, nilai budaya.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Ambo Enre. 1998. Pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti Melalui Kegiatan Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Makalah disajikan dalam Konvensi nasional IPBI XI di Mataram 27-29 Juli 1998 atas kerja sama PB IPBI dengan Universitas Mataram. Mataram : Panitia Konvensi nasional IPBI XI

Aksan. 1995. Ilmu dan Laku Drs. RMP Sosrokartono. Cetakan ke IV. Surabaya : Citra Jaya Murti.

Alfian M, M. Alfan. 2000. Problem Pendidikan Budi Pekerti. Semarang : Suara Merdeka 3 Agustus 2000 Halaman VII Wacana Mahasiswa)

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Koesnadi Partosatmoko. t.th. Santhih Tuntunan Ethiko-Psikologik Drs. RMP Sosrokartono. Surabaya : Citra Jaya Murti.

Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan – Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta

Rahardjo, Susilo. 2000. Pendidikan Budi Pekerti (dalam lingkup budaya Jawa). Makalah sebagai bahan renungan bersama dalam rangka Sosialisasi Akreditasi Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus. Kudus : Senin. 12 Agustus 2000

Sudharto. 2000. Kebijakan Mendiknas Tentang Budi Pekerti dan Aplikasinya. Makalah disampaikan dalam Sarasehan Budi Pekerti Tingkat Wilayah Pembantu Gubernur Wilayah Pati tanggal 24 Juli 2000. Diselenggarakan oleh Kanwil Depdiknas Propinsi Jawa Tengah.

Soemarmo, D. 1994. Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 1992 tanggal 17 Juli 1992 tentang Peran Serta Dalam Pendidikan Nasional. Jakarta : Mini Jaya Abadi

Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 1989. Semarang : Aneka Ilmu.

Tidak ada komentar: