Rabu, 27 Oktober 2010

Inventarisasi Data Pribadi

BAB II

INVENTARISASI DATA PRIBADI

A. Tujuan Umum

Dua tujuan umum yang hendak diperoleh mahasiswa setelah mempelajari materi kuliah dalam bab ini adalah:

1. Mengaplikasikan perkembangan fisiologis dan psikologis serta perilaku konseli

2. Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas dan kebebasan memilih

B. Tujuan Khusus

Tujuan khusus yang hendak dicapai setelah mempelajari bab inventarisasi data pribadi ini meliputi:

1. Mengadministrasikan asesmen untuk mengungkapkan masalah-masalah konseli

2. Mengaplikasikan kaidah-kaidah perilaku manusia, perkembangan fisik dan psikologis individu terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan

3. Mengaplikasikan kaidah-kaidah kepribadian, individualitas dan perbedaan konseli terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan

4. Mengaplikasikan kaidah-kaidah belajar terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan

5. Mengaplikasikan kaidah-kaidah keberbakatan terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan

6. Mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial, individual, dan berpotensi

7. Menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya

8. Peduli terhadap kemaslahatan manusia pada umumnya dan konseli pada khususnya

9. Toleran terhadap permasalahan konseli

10. Bersikap demokratis.

C. Kata Kunci

Inventarisasi, Data Pribadi

D. Media Pembelajaran

Media pembelajaran yang digunakan dalam bab ini terdiri atas: Laptop, LCD, beberapa alat penyimpan data pribadi seperti Buku Pribadi atau Cummulative Record, Kartu, Booklet, dan Komputer beserta asesorisnya seperti disket, compact disk (CD), flash disk, dan hard disk.

E. Uraian Materi

1. Pengertian Inventarisasi Data Pribadi

Bimbingan dan konseling baik dalam setting sekolah mau pun di luar sekolah, pada dasarnya bertujuan mencegah timbulnya masalah, mengatasi masalah dan membantu peserta bimbingan (konseli) berkembang seoptimal mungkin. Dengan rumusan tujuan semacam itu, maka konselor perlu memahami tentang keadaan konseli tersebut secara utuh, baik secara individual mau pun kelompok.

Untuk memahami konseli baik secara individual mau pun kelompok, dibutuhkan berbagai data tentang konseli yang bersangkutan. Data ini dapat diperoleh dengan menggunakan teknik non-tes dan teknik tes.

Bimbingan dan konseling dapat berhasil sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan, antara lain ditentukan oleh pemahaman konselor terhadap konselinya, dan pemahaman konseli terhadap dirinya sendiri.

Pemahaman individu didasarkan pada adanya keterangan yang akurat dan terpercaya. Data pribadi yang tidak akurat dapat menimbulkan pemahaman yang keliru. Data yang demikian itu jika disertai dengan pengamatan yang keliru pula oleh pihak individu yang bersangkutan terhadap data itu, dapat menyesatkan. Karena itulah untuk kepentingan bimbingan dan konseling diperlukan data atau informasi atau keterangan tentang individu (konseli). Keterangan atau informasi atau data yang lengkap dan menyeluruh tentang pribadi konseli inilah yang biasanya disebut sebagai data pribadi. Jadi yang dimaksudkan dengan inventarisasi data pribadi adalah kegiatan atau usaha pengumpulan data mengenai konseli secara utuh dan menyeluruh baik fisik mau pun psikis.

Kegiatan inventarisasi data pribadi ini diperlukan bukan hanya dalam rangkaian konselor memahami konseli dan konseli mamahami dirinya sendiri, tetapi dengan terhimpunnya data pribadi dapat pula dipakai untuk mengidentifikasi masalah-masalah beserta faktor-faktor penyebabnya. Kemudian data tersebut dapat juga dipergunakan untuk mempertimbangkan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang dihadapi konseli.

Perlu diingat bahwa data yang berhasil dikumpulkan tidak dimaksudkan hanya disimpan di dalam almari saja sebagai dokumen (himpunan data), karena memahami individu lebih dari mengerti data, fakta dan informasi yang telah dikumpulkan, tetapi lebih dari itu adalah menangkap arti dan makna dari keseluruhan data, fakta dan informasi tersebut. Penangkapan arti ini menuntut seorang konselor untuk memiliki kemampuan memahami, mendalami, dan menghayati tingkah laku individu. Inventarisasi data pribadi akan bermakna jika dapat dimanfaatkan oleh konselor, individu yang bersangkutan, dan pihak-pihak yang terkait untuk mengembangkan individu ke arah perkembangan yang optimal dan dinamis. Dengan demikian kegiatan inventarisasi data pribadi bukan pekerjaan yang sekali selesai, tetapi terus menerus, sesuai kebutuhan dan perkembangan konseli.

Dalam hubungannya dengan kontinuitas inventarisasi data pribadi, ada tiga dasar pikiran yang harus dipertimbangkan oleh konselor, yaitu:

a. Konseli sebagai individu yang sedang mengalami perkembangan, maka senantiasa mengalami perubahan. Dengan demikian konselor perlu melihat dan mengikuti perkembangan konseli dari waktu ke waktu, dari tahap ke tahap.

b. Konseli sebagai individu yang berpribadi, merupakan satu kesatuan atau totalitas dari fisik dan psikis, dan keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Oleh karena itu konselor harus selalu berusaha memahami individu dari kedua sisi tersebut, dan kaitan antara aspek fisik dengan psikis, pengaruh kondisi psikis tertentu terhadap fisik, dan/atau sebaliknya.

c. Konseli sebagai individu juga sebagai anggota masyarakat, baik masyarakat keluarga, masyarakat sekolah, mau pun masyarakat yang lebih luas. Dengan demikian perlu diperhatikan dan dilakukan inventarisasi data tentang keadaan latar belakang keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Dengan demikian inventarisasi data pribadi merupakan kegiatan yang sangat penting dalam keseluruhan pelayanan bimbingan dan konseling, dan merupakan salah satu kegiatan yang mendasari (sebagai langkah awal) dari kegiatan bimbingan dan konseling secara keseluruhan.

2. Aspek-aspek Pribadi Individu

Setiap individu akan berkembang menurut polanya masing-masing dan hal ini merupakan tantangan bagi setiap konselor untuk mengenal dan memahaminya. Memahami dan mengerti individu merupakan tugas pokok seorang konselor agar dalam melaksanakan tugasnya dapat membantu individu mencapai perkembangan dirinya seoptimal mungkin.

Setiap individu mempunyai berbagai aspek yang dapat mempengaruhi perkembangan dirinya, baik fisik mau pun psikis. Aspek-aspek pribadi individu yang harus dikenal dan dipahami oleh konselor antara lain perkembangan individu, perbedaan individu, kebutuhan individu, penyesuaian individu, dan kepribadian individu.

a. Perkembangan individu

Pada hakekatnya individu merupakan makhluk yang sedang mengalami proses tumbuh dan berkembang, baik fisik mau pun psikisnya. Proses perkembangan individu ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor yang berasal dari dalam dirinya sendiri (pembawaan) dan faktor yang berasal dari luar individu (lingkungan). Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi menuju kematangan melalui tahap-tahap perkembangan tertentu. Setiap individu mempunyai dorongan yang kuat untuk menjadi matang, produktif, dan dapat berdiri sendiri. Kematangan tersebut meliputi kematangan fisik, kejiwaan, dan sosialnya.

Proses perkembangan ini tidaklah berlangsung secara otomatis, melainkan melalui proses belajar dan juga tergantung pada tempo dan irama perkembangan. Dari tidak bisa menjadi bisa, setapak demi setapak individu berkembang, dan kadang kala mengalami hambatan dan penyimpangan, kadang kala berkembang secara cepat, dan ada kalanya seakan-akan berhenti pada suatu tahap. Kondisi semacam ini sering dipandang sebagai proses perkembangan yang tidak wajar, sehingga menimbulkan tingkah laku yang tidak wajar mau pun salah penyesuaian. Karena itulah masa perkembangan ini sangat penting untuk dikenal dan dipahami oleh konselor.

Dalam hubungannya dengan pemahaman individu, konselor harus memperhatikan prinsip-prinsip perkembangan, yaitu:

1) Hasil proses belajar tergantung pada tingkat kematangan yang dicapai.

Proses belajar dapat berhasil dengan baik jika dilakukan pada saat kematangan individu itu tiba. Demikian pula sebaliknya, proses kematangan akan tergantung dari usaha-usaha belajar.

2) Tempo perkembangan berlangsung cepat pada tahun-tahun permulaan.

Pada masa permulaan perkembangan seperti masa bayi, masa kanak-kanak dan pemuda, proses perkembangan nampak berlangsung dengan cepat. Tetapi setelah masa itu perkembangan berlangsung lambat.

3) Setiap individu memiliki tempo perkembangan.

Dalam aspek-aspek tertentu individu mempunyai kecepatan perkembangan sendiri. Individu yang satu dengan yang lain, tempo perkembangannya berbeda, meskipun ada juga yang sama.

4) Perkembangan individu mengikuti pola umum.

Individu yang normal memiliki pola perkembangan yang sama atau relatif seragam dengan individu lain, sejak masa bayi sampai masa dewasanya.

5) Faktor pembawaan dan lingkungan sama kuat pengaruhnya terhadap proses perkembangan.

Perkembangan individu dipengaruhi faktor pembawaan dan lingkungannya. Pembawaan yang baik akan berkembang dengan lancar jika ditunjang oleh lingkungan yang baik pula. Sebaliknya pembawaan yang kurang memadai dapat berkembang dengan baik karena lingkungannya kondusif.

6) Perkembangan dapat mengalami kemunduran dan dapat pula dipercepat.

Individu akan berkembang optimal jika mendapat pengaruh dari lingkungan yang baik. Sebaliknya perkembangan individu akan terhambat jika berada di lingkungan yang merugikan.

7) Perkembangan menuju ke arah integrasi dan diferensiasi sistem respon.

Perkembangan merupakan integrasi atau penggabungan berbagai aspek perkembangan khusus. Dan sebaliknya merupakan diferensiasi, artinya perkembangan merupakan pengkhususan aspek-aspek perkembangan yang bersifat umum.

Dalam konteksnya dengan perkembangan inilah pelayanan bimbingan dan konseling sangat diperlukan. Pelayanan tersebut diharapkan dapat membantu setiap individu dalam menghadapi dan melampaui tahap-tahap perkembangan, mengatasi hambatan yang timbul serta memperbaiki penyimpangan yang mungkin terjadi dalam proses perkembangan, agar perkembangan berlangsung secara wajar. Dengan demikian fungsi pemahaman yang terdapat dalam bimbingan dan konseling diharapkan dapat memberikan pemahaman yang utuh dan menyeluruh terhadap individu, sehingga bagi individu yang tidak bermasalah dapat terus berjalan mencapai tujuan hidupnya; sementara bagi individu yang mengalami masalah dapat dibantu sesuai dengan kondisi masalahnya; dan bagi individu yang sudah teratasi masalahnya diharapkan dapat memelihara dan mengembangkan dirinya secara lebih baik. Pemahaman individu dengan demikian mempunyai makna yang sangat strategis dalam membantu individu untuk tumbuh dan berkembang.

b. Perbedaan individu

Pada hakekatnya setiap individu berbeda secara khas satu sama lain, baik ciri-ciri fisik mau pun dinamika psikisnya. Perbedaan ini dalam psikologi dikenal dengan istilah individual differences --- perbedaan individu. Perbedaan-perbedaan individu tersebut menghendaki agar perlakuan pendidikan pada umumnya dan bimbingan dan konseling khususnya menyesuaikannya secara spesifik, khususnya dalam membantu individu mencapai perkembangan yang optimal. Perbedaan individu ini dapat bersumber dari faktor pembawaan mau pun lingkungan yang membentuk pribadi individu tersebut.

Perbedaan-perbedaan individu yang perlu diperhatikan dan dipahami oleh konselor antara lain:

1) perbedaan bakat

2) perbedaan kecerdasan

3) perbedaan kecakapan atau keterampilan

4) perbedaan prestasi

5) perbedaan minat

6) perbedaan tingkat kebutuhan

7) perbedaan irama dan tempo perkembangan

8) perbedaan sikap dan pandangan hidup

9) perbedaan cita-cita

10) perbedaan ciri-ciri jasmani

11) perbedaan sifat-sifat atau ciri-ciri kepribadian lainnya

Pengertian dan pemahaman konselor tentang perbedaan individu ini sangat membantu tugasnya dalam memberikan pelayanan bimbingan dan konseling yang sesuai dengan kondisi masing-masing konseli.

c. Kebutuhan individu

Setiap peserta didik sebagai individu pasti mempunyai kebutuhan yang memerlukan pemenuhan. Kebutuhan individu mutlak harus dapat dipenuhi agar individu berkembang secara wajar. Hal ini harus diketahui dan dipahami oleh setiap konselor.

Kebutuhan adalah kekurangan, artinya ada sesuatu yang kurang dan oleh karenanya timbul keinginan untuk memenuhinya. Yang dimaksud dengan keinginan atau kehendak yaitu tenaga pendorong untuk berbuat sesuatu dan bertingkah laku. Kebutuhan individu itu sangat banyak ragamnya dan semuanya membutuhkan pemenuhan. Dan kebutuhan tersebut akan menimbulkan motive (dorongan) yang merupakan tenaga untuk membangkitkan dan memberikan arah pada tingkah laku seseorang. Individu yang tidak dapat terpenuhi kebutuhannya merasa tidak puas dan memunculkan tingkah laku negatif, misalnya membolos, suka berbohong, suka mencuri. Sebaliknya jika kebutuhannya terpenuhi ia merasa puas dan dapat memperlancar perkembangan pribadinya. Jika individu dapat memenuhi kebutuhannya sesuai dengan keadaan dirinya dan lingkungannya, maka ia dikatakan dapat menyesuaikan diri dengan baik (well adjusted), dan jika individu gagal dalam menyesuaikan kebutuhannya dengan keadaan yang ada berarti ia mengalami salah suai (maladjusted). Misalnya ada seorang siswa SMA yang mejadi Ketua OSIS di sekolahnya, maka aktivitasnya didasarkan atas banyak kebutuhan, yaitu antara lain:

1) kebutuhan akan status, yaitu butuh dianggap sebagai orang penting

2) kebutuhan bergaul dengan teman-teman secara luas

3) kebutuhan bergaul dengan guru

4) kebutuhan untuk mandiri

5) kebutuhan untuk dihargai orang lain.

Motive adalah sesuatu yang sangat individual dan manifestasinya sering dalam bentuk yang tidak jelas. Oleh karena itu konselor perlu memiliki kemampuan untuk mengetahui dan memahami kebutuhan individu yang sangat bersifat individual tersebut, sehingga diharapkan dapat memberikan bantuan berupa pelayanan bimbingan dan konseling sesuai kebutuhan individu.

Tingkah laku manusia, menurut Maslow (dalam Goble 1998:69) didasarkan pada motivasi manusia yang dapat diterapkan pada hampir seluruh aspek kehidupan pribadi serta kehidupan sosial. Konsep fundamental yang unik dari Maslow menyatakan bahwa manusia dimotivasikan oleh sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh spesies, tidak berubah, dan berasal dari sumber genetis atau naluriah. Kebutuhan-kebutuhan manusia itu bersifat psikologis, bukan semata-mata fisiologis. Kebutuhan-kebutuhan itu merupakan kodrat manusia, hanya saja mereka itu lemah, mudah diselewengkan dan dikuasai oleh proses belajar, kebiasaan atau tradisi yang keliru. “Kebutuhan-kebutuhan itu,” kata Maslow, “merupakan aspek-aspek intrinsik kodrat manusia yang tidak dimatikan oleh kebudayaan, hanya ditindas.” Kita tidak dapat menyangkal lagi bahwa pandangan Maslow ini menentang pandangan lama yang selama ini cukup banyak dianut orang.

Kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, menurut Maslow (dalam Goble 1998:71-80) terdiri atas :

(1) Kebutuhan-kebutuhan fisiologis

(2) Kebutuhan akan rasa aman

(3) Kebutuhan akan rasa memiliki-dimiliki dan akan kasih sayang

(4) Kebutuhan akan penghargaan

(5) Kebutuhan akan aktualisasi diri

(6) Kebutuhan untuk tahu dan memahami

(7) Kebutuhan estetik.

Kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut membentuk suatu hierarki (piramida) sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2.1 dari tingkat yang paling dasar yaitu kebutuhan fisiologis, meningkat kebutuhan akan rasa aman, dan seterusnya sampai dengan kebutuhan estetik. Semakin tinggi kebutuhan seseorang, biasanya diidentifikasikan bahwa kualitas hidup orang tersebut sudah tinggi. Hal itu terkait dengan status sosial ekonomi.

Gambar 2.1 Hierarki Kebutuhan menurut Abraham Harold Maslow

Dalam perkembangannya, Rosyidan (1989:11) mengidentifikasi bahwa kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow berkembang menjadi sembilan kebutuhan manusia, yaitu:

(a) Kebutuhan jasmaniah: makan, minum, bernafas, kesehatan;

(b) Kebutuhan keamanan: terhindar dari ancaman keamanan, baik yang bersifat jasmaniah mau pun batiniah;

(c) Kebutuhan untuk dimiliki dan dicintai: agar dia sebagai orang tidak hidup sendiri dan sepi;

(d)Kebutuhan dianggap penting: agar dia sebagai orang tidak dianggap sepi oleh lingkungannya, atau dianggap tidak berarti oleh orang lain;

(e) Kebutuhan akan harga diri: agar dirinya itu dihargai dan dihormati; kebutuhan ini sekaligus mengandung kebutuhan akan kebebasan, yaitu tidak mau saja terikat oleh orang lain ataupun aturan-aturan yang tidak disetujuinya;

(f) Kebutuhan akan informasi: orang yang sudah dihargai, dihormati, dan bebas itu rupanya ingin tahu lebih banyak; dan membutuhkan lebih banyak informasi tentang berbagai sumber;

(g) Kebutuhan akan pengertian yang lebih jauh, lebih mendalam dan lebih lengkap. Kiranya benarlah ungkapan bahwa orang yang makin banyak tahu merasa makin banyak tidak tahu; oleh karena itu berusaha untuk lebih banyak tahu dan mengerti hakekat sesuatu; kalau bisa dapat mengerti tentang alam semesta dengan berbagai kaidah-kaidahnya;

(h) Kebutuhan akan keindahan. Keindahan lebih abstrak dan seringkali berada di luar yang diketahui dan dimengerti oleh seseorang; karena itu pencapaiannya pun lebih sulit dari pada pencapaian untuk tahu dan mengerti itu;

(i) Kebutuhan akan perwujudan diri. Setelah semua kebutuhan terdahulu dapat terpenuhi, maka orang yang bersangkutan merasa bebas bergerak dalam arti yang seluas-luasnya. Dalam keleluasaannya ini dia ingin mewujudkan segala sesuatu yang ada pada dirinya sendiri untuk berkembang semaksimal mungkin.

Kalau diperhatikan, kebutuhan-kebutuhan individu sebagaimana tersebut di atas, sebenarnya masih bersifat jasmaniah dan belum menggambarkan hakekat manusia yang utuh. Menurut Prayitno (1987), manusia itu mempunyai kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya yaitu kebutuhan untuk mengikatkan diri dengan keabadian. Kartini Kartono (1983) menyebutnya sebagai kebutuhan metafisik dan religius. Kabutuhan ini merupakan kebutuhan kejiwaan yang sifatnya lebih dalam dan menyeluruh, yaitu kebutuhan akan adanya hubungan antara individu itu sendiri sebagai makhluk (yang taraf keberdayaannya sama sekali tidak sempurna) dengan Yang Maha Kuasa. Kebutuhan ini menyebabkan individu berintegrasi dengan Tuhan.

Dengan demikian menurut teori Maslow, kebutuhan-kebutuhan itu tersusun secara bertingkat sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 2.1. Seseorang yang telah dapat memenuhi kebutuhan pada tingkat bawah akan terdorong untuk memenuhi kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi, begitu seterusnya hingga sampai pada kebutuhan yang tertinggi. Ini berarti seseorang telah mencapai kebulatan.

Suatu sifat dapat dipandang sebagai kebutuhan dasar (Goble 1998:70) jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1) Ketidakhadirannya menimbulkan penyakit

2) Kehadirannya mencegah timbulnya penyakit

3) Pemulihannya menyembuhkan penyakit

4) Dalam situasi-situasi tertentu yang sangat kompleks dan di mana orang bebas memilih, orang yang sedang berkekurangan ternyata mengutamakan kebutuhan itu dibandingkan jenis-jenis kepuasan lainnya.

5) Kebutuhan itu tidak aktif, lemah atau secara fungsional tidak terdapat pada orang yang sehat.

Maslow dalam praktek klinisnya memperoleh pengalaman sendiri sebagai terapis mau pun terapis-terapis lainnya, yaitu bahwa secara konsisten pengalamannya menunjukkan bahwa orang-orang yang terpuaskan kebutuhan-kebutuhan dasarnya ternyata hidup sehat, lebih bahagia serta lebih efektif, sedangkan orang-orang yang kebutuhan-kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi menunjukkan gejala psikopatologis. Tidak terpuaskannya hasrat-hasrat yang kurang penting, yaitu hasrat-hasrat yang bukan merupakan kebutuhan dasar, ternyata tidak melahirkan gejala-gejala tidak sehat. Tentu saja setiap orang mempunyai kualitas kebutuhan dasar yang berbeda, sehingga berbeda pula kualitas sehat atau tidaknya seseorang karena terpenuhi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.

Konselor dalam memberikan pelayanan bimbingan dan konseling kepada individu harus memperhatikan dan memahami kebutuhan-kebutuhannya. Sebab kebutuhan yang tidak terpenuhi akan menjadi sumber masalah bagi individu yang bersangkutan, dan mungkin pula bagi orang lain, dan lingkungannya

d. Penyesuaian individu

Proses penyesuaian individu akan melibatkan berbagai aspek, yaitu tingkat perkembangan individu, kebutuhan individu, serta berbagai kemungkinan yang ada dalam lingkungan sosio-kultural. Dapat pula dinyatakan bahwa dalam memenuhi kebutuhannya, individu perlu menyesuaikan antara tingkat perkembangannya, khususnya dengan keterbatasan kemungkinan yang ada, dan lingkungannya. Proses penyesuaian adalah suatu upaya untuk memenuhi dorongan kebutuhan dengan mempertimbangkan daya atau tingkat kemampuan sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam lingkungan hidupnya. Pandangan ini menunjukkan bahwa pada dasarnya proses penyesuaian diri merupakan interaksi antara keadaan diri dan lingkungan hidupnya.

Apabila ditelaah lebih mendalam, proses penyesuaian diri itu sebenarnya dapat terjadi baik di dalam individu itu sendiri mau pun dalam hubungannya dengan lingkungan hidup. Proses penyesuaian diri di dalam individu itu terjadi apabila individu mampu memahami dan menerima keadaan dirinya, baik mengenai kelebihan mau pun kekurangannya, serta menerimanya secara positif dan dinamis sebagai modal pengembangan diri lebih lanjut untuk mencapai keseimbangan pribadi.

Di lain pihak penyesuaian diri memang sering diartikan dalam hubungan dengan tuntutan lingkungan sosio-kultural. Dalam hal ini individu yang melakukan penyesuaian diri dapat berbentuk penyesuaian terhadap orang lain mau pun terhadap masyarakat. Proses penyesuaian diri dengan orang lain akan berlangsung efektif apabila individu dapat menerima penilaian-penilaian orang lain terhadap dirinya secara wajar serta mampu menilai orang lain secara objektif. Keefektivan proses penyesuaian ini akan ditandai dengan adanya hubungan yang saling terbuka, saling menghargai dan harmonis. Sedangkan penyesuaian diri terhadap masyarakat, individu dapat menerima dan melaksanakan norma masyarakat, dapat pula mempengaruhi masyarakat, sehingga terjadi perubahan norma dalam masyarakat. Penyesuaian diri dengan masyarakat juga mencakup aspek-aspek lingkungan sosial dan ekonomi, lingkungan budaya yang sarat dengan nilai dan norma --- sebagaimana telah disebutkan di atas --- mau pun lingkungan fisik, dan menerima lingkungan itu secara positif dan dinamis pula. Penyesuaian diri terhadap lingkungan, yang meliputi lingkungan rumah atau keluarga, lingkungansekolah, lingkungan alam dan amsyarakat sekitar, serta “lingkungan yang lebih luas” itu diharapkan menunjang proses penyesuaian diri individu dengan lingkungan itu, serta dapat memanfaatkan sebesar-besarnya untuk pengembangan diri secara mantap dan berkelanjutan.

Individu diharapkan juga dapat menyesuaikan diri antara keadaan objektif dirinya dengan rencana masa depannya. Dalam hal ini individu diharapkan mampu mempertimbangkan dan mengambil keputusan tentang masa depan dirinya sendiri, baik yang menyangkut bidang pendidikan, bidang karier, mau pun bidang budaya/keluarga/kemasyarakatan. Penyesuaian diri terhadap rencana masa depannya pun hendaknya dilakukan individu secara positif dan dinamis, sehingga ia dapat mengembangkan dirinya secara mantap.

Dengan demikian individu yang dapat menyesuiakan diri, sebenarnya individu yang ideal sesuai dengan pengertian bimbingan sebagaimana disebutkan dalam PP 28 dan 29 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, yaitu bahwa bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan.

e. Kepribadian individu

Menurut Allport (Suryabrata, 1983:248), kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Oleh Suryabrata selanjutnya pengertian kepribadian tersebut dijelaskan maksudnya sebagai berikut:

(1) Pernyataan “organisasi dinamis” menekankan kenyataan bahwa kepribadian itu selalu berkembang dan berubah walaupun dalam pada itu ada organisasi sistem yang mengikat dan menghubungkan berbagai komponen dari kepribadian itu.

(2) Istilah “psikofisis” menunjukkan bahwa kepribadian bukanlah eksklusif (semata-mata) mental dan bukan pula semata-mata neural. Organisasi kepribadian melingkupi kerja tubuh dan jiwa (yang tidak terpisah-pisahkan) dalam kesatuan kepribadian.

(3) Istilah “menentukan” menunjukkan bahwa kepribadian mengandung tendens-tendens determinasi yang memainkan peranan aktif dalam tingkah laku individu. Kepribadian adalah sesuatu dan melakukan sesuatu ………..….. Kepribadian terletak di belakang perbuatan-perbuatan khusus dan di dalam individu.

(4) Kata “khas” (unik, unique) menunjuk tekanan utama yang diberikan oleh Allport pada individualitas. Tidak ada dua orang yang benar-benar sama dalam caranya menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Jadi dengan demikian berarti tidak ada dua orang yang mempunyai kepribadian yang sama.

(5) Pernyataan “menyesuaikan diri terhadap lingkungan” menunjukkan keyakinan Allport bahwa kepribadian mengantarai individu dengan lingkungan fisik dan lingkungan psikologisnya, kadang-kadang bahkan menguasainya. Jadi kepribadian adalah sesuatu yang mempunyai fungsi atau arti adaptasi dan menentukan.

Pengertian kepribadian dengan demikian sebenarnya mencakup aspek-aspek non-kognitif (yang bukan abilitas atau bukan kecakapan) seperti kepercayaan diri, stabilitas emosi, rasa tanggung jawab, kemampuan menyesuaikan diri; dan kognitif (yang berupa abilitas atau kecakapan) seperti inteligensi, bakat, minat, dan prestasi belajar. Dalam mata kuliah Pemahaman Individu I, pembahasan aspek kepribadian individu yang perlu dipahami oleh konselor mencakup aspek inteligensi, bakat, dan minat.

1) Inteligensi

Inteligensi atau kecerdasan merupakan salah satu aspek yang penting dalam pendidikan. Prestasi belajar seorang siswa antara lain ditentukan oleh tingkat kecerdasannya. Walaupun seorang anak mempunyai semangat dan dorongan yang menggebu-gebu untuk mencapai prestasi yang tinggi, orang tua memberikan dukungan dan fasilitas yang memadai; tetapi jika tingkat kecerdasannya terbatas, kecil kemungkinannya ia mencapai prestasi belajar yang tinggi.

Tingkat kecerdasan ditentukan oleh bakat bawaan (hereditas) dan faktor lingkungan. Hereditas merupakan gen yang diturunkan oleh orang tuanya, sedangkan yang termasuk lingkungan adalah semua pengalaman dan pendidikan yang pernah diperoleh seseorang; terutama pada tahun-tahun pertama dalam kehidupan mempunyai dampak yang kuat terhadap kecerdasan seseorang.

Secara umum inteligensi dapat dirumuskan sebagai:

(1) kemampuan untuk berpikir abstrak,

(2) kemampuan untuk menangkap hubungan-hubungan dan untuk belajar,

(3) kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru.

Rumusan pertama memandang inteligensi sebagai kemampuan berpikir, perumusan kedua sebagai kemampuan belajar, dan perumusan ketiga sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri. Ketiga-tiganya kelihatannya menunjukkan aspek yang berbeda dari inteligensi, namun sebenarnya ketiga aspek tersebut saling berkaitan. Keberhasilan seseorang dalam penyesuaian diri tergantung dari kemampuannya untuk berpikir dan belajar. Sejauh mana seseorang belajar dari pengalaman-pengalamannya akan menentukan penyesuaian dirinya. Ungkapan-ungkapan, pikiran-pikiran, cara berbicara, cara mengajukan pertanyaan, cara menjawab pertanyaan, kemampuan memecahkan masalah, merupakan beberapa contoh perilaku seseorang yang menunjukkan kapasitas inteligensinya.

Konselor hendaknya dapat mengetahui dan memahami inteligensi peserta didiknya (siswa), sehingga dapat memberikan pelayanan bimbingan dan konseling --- terutama layanan pembelajaran --- agar siswa berkembang prestasi belajarnya. Pemahaman terhadap inteligensi juga memungkinkan konselor untuk memberikan layanan penempatan dan penyaluran bagi siswa-siswa yang tergolong kurang mampu agar menekuni dan mengembangkan latihan-latihan keterampilan; sementara itu bagi siswa-siswa yang tergolong mampu disalurkan untuk mengembangkan akademiknya setinggi mungkin.

2) Bakat

Apakah sesungguhnya arti bakat, dan apa bedanya dengan kemampuan dan prestasi? Bagi seorang konselor (dan pendidik pada umumnya) pertanyaan tersebut sangatlah penting untuk diketahui dan dipahami lebih mendalam.

Munandir (2001:15-16) mengatakan, bahwa bakat sering dikatakan merupakan kemampuan yang dibawa orang sejak lahir, dengan kata lain bersifat keturunan (atau genetis, herediter). Pandangan ini sering kita dengar secara umum sebagaimana para ahli dan “orang awam” ada yang setuju bahwa bakat dibawa sejak lahir, sementara yang lain mengatakan bahwa bakat tidak dibawa sejak lahir. Tentang kata sejak lahir dalam kaitannya dengan bakat ini, Suzuki (1993:1-2) mempunyai pandangan yang menarik. Sebagian orang mengatakan, kita harus mengetahui kemampuan diri kita sendiri, mengenal dan mengembangkannya. Bila tugas penting ini dikesampingkan, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa kita hidup dalam dunia yang beradab? Bakat seseorang tidaklah dibawa sejak lahir. Sementara itu sebagian orang yang lain mengatakan, “Pertumbuhan karakter seorang anak adalah hal yang wajar, sebab sifat-sifat seseorang dibawa sejak lahir. Kita tidak dapat berbuat apa-apa bila seorang anak dilahirkan tanpa memiliki kemampuan seperti anak-anak yang lain.”

Gambar 2.2 ”Apakah bakat bayi ini; akan jadi apa dia kelak?”, tanya Suzuki

Atas perkataan orang-orang tersebut, Suzuki mengajak kita untuk merenungkan sejenak. Bukankah kata sejak lahir digunakan secara ceroboh di dalam dua pernyataan di atas? Ketika kita mengatakan anak-anak memiliki kemampuan bawaan dari lahir, anak-anak tersebut sebenarnya telah berusia lima atau enam tahun. Melihat bayi yang baru lahir jelas kita tidak dapat memastikan apakah bayi tersebut nantinya menjadi pemain musik terkenal, ataukah akan menjadi seorang sastrawan besar.

Kemampuan anak umur lima atau enam tahun tidak dapat disamakan dengan kemampuan bayi yang baru lahir. Kemampuan anak usia lima tahun merupakan hasil pendidikan dan latihan selama lima tahun!

Coba kita renungkan kembali pendapat yang salah itu, yang menyamakan hasil pendidikan dengan kemampuan bawaan. Akan memiliki pribadi yang bagaimanakah seorang bayi yang baru lahir? Bakat apakah yang terpendam dalam dirinya -- Gambar 2.2? Inilah hal penting yang saya ingin Anda kenali. Demikian paparan Suzuki, bahwa bakat seseorang tidak dibawa sejak lahir. Suzuki mengajak kita untuk berasumsi bahwa bayi yang baru dilahirkan mempunyai kemampuan yang tidak terbatas. Pendidiklah yang harus menciptakan lingkungan sekitar yang memungkinkan potensi anak berkembang secara optimal – sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2.3.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bakat adalah kemampuan manusia yang dibawa sejak lahir (kodrati, alamiah) yang dengan latihan-latihan tertentu akan memperoleh berbagai macam pengetahuan dan keterampilan khusus seperti kemampuan berbahasa, keterampilan teknik, bermain musik, dan lain-lain. Pengertian sejak lahir mengandung makna bahwa manusia sejak bayi memang sudah membawa “bibit bakat”, tetapi seberapa besarnya, seberapa kualitasnya, kita tidak mengetahui secara pasti. Pengetahuan kita bahwa seseorang berbakat ataukah tidak setelah kita mengetahui perkembangan seseorang kemudian.

Gambar 2.3

Lingkungan pendidikan yang kondusif memungkinkan anak berkembang optimal

Kemudian apa bedanya bakat dengan kemampuan dan presta­si? Bagi seorang pendidik pertanyaan tersebut di atas mempun­yai arti ppenting. Bakat yang diartikan dari aptitude merupakan suatu kemampuan bawaan, sebagai potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih agar dapat terwujud. Berbeda dengan bakat, kemampuan merupakan daya untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan. Kemampuan menunjuk­kan bahwa suatu tindakan (performance) dapat dilakukan sekar­ang, sedangkan bakat memerlukan latihan dan pendidikan agar suatu tindakan dapat dilakukan di masa yang akan datang. Bakat dan kemampuan menetukan prestasi seseorang. Orang yang berba­kat hitung-menghitung diperkirakan akan mampu mencapai prestasi yang tinggi dalam bidang yang memerlukan hitungan seperti matematika, fisika, kimia, akuntansi. Jadi prestasi merupakan perwujudan dari bakat dan kemampuan. Prestasi yang sangat menonjol dalam suatu bidang mencerminkan bakat yang unggul dalam bidang tersebut (Munandar, 1992:17-18).

Sementara itu Suzuki (1993:xi) memberikan penjelasan, bahwa kata-kata bakat dan kemampuan digunakan dalam arti luas, yang bermakna kesanggupan seseorang untuk berpikir, bertindak, atau merasakan dalam situasi tertentu. Penggunaan kata-kata tersebut tidak terbatas pada bidang artistik saja, melainkan juga berlaku untuk ciri-ciri kepribadian seseorang. Dengan demikian, Suzuki menunjukkan fakta-fakta bahwa seseorang bisa mengembangkan kemampuannya untuk menjadi seorang pemarah ataupun seorang yang luwes dalam bergaul. Ia juga bisa mengembangkan bakatnya untuk menjadi orang yang penting dan bisa mengerti perasaan orang lain. Dengan demikian, nampaknya pendapat Suzuki tentang bakat lebih luas dibandingkan ahli-ahli lainnya.

Konselor perlu memahami bakat para siswanya agar mereka dapat ditempatkan dan disalurkan sesuai dengan bakatnya masing-masing.

3) Minat

Minat adalah ketertarikan perasaan seseorang terhadap sesuatu objek. Minat merupakan aspek pribadi individu yang juga perlu dikenali dan dipahami oleh konselor. Sebab minat dapat menjadi kekuatan motivasi. Prestasi seseorang selalu dipengaruhi oleh macam dan intensitas minatnya. Siswa yang berminat terhadap matematika, misalnya, akan bekerja keras untuk mencapai prestasi (nilai) yang tinggi dalam matematika. Sebaliknya anak yang tidak berminat dengan matematika dia akan malas --bahkan mungkin saja sama sekali tidak mau -- mempelajari matematika; ia tidak peduli berapa pun nilai matematika yang diperolehnya.

Minat dapat menimbulkan kepuasan. Seorang anak cenderung untuk mengulang-ulang tindakan-tindakan yang didasari oleh minat. Namun demikian minat sangat banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan dibandingkan dengan dari dalam dirinya, terutama bagi anak-anak remaja. Sering terjadi seorang anak berminat untuk melakukan sesuatu hanya karena ikut-ikutan temannya, karena dorongan orang tuanya; bukan karena didorong oleh minatnya sendiri. Jadi minat dapat dibentuk oleh pendidik. Karena itulah konselor mempunyai tugas untuk mengenal dan menimbulkan minat yang berasal dari dalam diri individu (minat intrinsik), agar minat siswa terhadap pelajaran positif, sehingga siswa dapat mencapai prestasi soptimal mungkin.

Gambar 2.4 menunjukkan kepada kita kualitas minat anak-anak terhadap fotografi.

Aspek-aspek pribadi individu yang telah diuraikan di atas dapat menjadi sumber masalah, tetapi juga dapat menjadi sumber inspirasi pemecahan masalah. Konselor hendaknya mampu mengenali dan memahami berbagai aspek pribadi individu, agar individu bersangkutan dapat mengenal, memahami, dan mengatasi masalahnya dengan kemampuan sendiri untuk memperoleh kesejahteraan hidupnya.

Gambar 2.4 “Manakah anak-anak yang berminat mejeng di depan kamera?”

3. Unsur-unsur Catatan Data Pribadi

Bertolak dari tujuan inventarisasi data pribadi, yaitu memperoleh informasi atau keterangan-keterangan yang lengkap dan menyeluruh tentang pribadi konseli, maka timbul pertanyaan: “Dari manakah kita memperoleh informasi atau keterangan-keterangan tentang pribadi konseli?” Dengan cepat mungkin kita akan menjawab, “Dari konseli!” Tetapi perlu diketahui bahwa pengumpulan data tentang pribadi konseli, bukan berarti data tersebut hanya diperoleh dari konseli saja, melainkan juga dari pihak lain yang dapat dipercaya dan dapat memberikan keterangan baik secara langsung mau pun tidak langsung.

Gambar 2.5 berikut ini menunjukkan sumber data pribadi konseli berurutan dari sumber data utama (primer) sampai sumber data pendukung (sekunder).




11

Gambar 2.5 Sumber data pribadi

Dari gambar di atas, dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Konseli sendiri. Konseli itu sendiri merupakan sumber data yang utama. Dari konselilah konselor dapat memperoleh data langsung dari tangan pertama (sumber data primer). Sumber data selain konseli merupakan sumber data sekunder.

Keuntungannya, konselor dapat memperoleh data yang masih asli dan berharga, karena dapat menggambarkan secara langsung pribadi konseli.

Kelemahannya, pada umumnya konseli dengan sengaja tidak terbuka (tidak jujur), sehingga data tentang dirinya yang dianggap sebagai kelemahan atau kekurangan --- misalnya konseli masih sering ngompol walaupun sudah pra remaja --- tidak ingin diketahui oleh orang lain, dan karena itu konseli tidak memberikan keterangan atau informasi yang sebenarnya. Ini berarti data yang diberikan oleh konseli cenderung bersifat subjektif.

Upaya yang perlu dilakukan konselor agar dapat memperoleh data yang objektif antara lain dengan menciptakan personal approach dan rapport yang baik, sehingga ada kepercayaan konseli terhadap konselor. Dengan demikian konseli akan terbuka dan dengan senang hati memberikan data tentang dirinya kepada konselor, sebagaimana diinginkan dan dibutuhkan oleh konselor.

b. Orang tua. Orang tua merupakan sumber data yang tidak langsung (sumber data sekunder). Tetapi orang tua merupakan sumber data sekunder yang paling dapat dipercaya. Sebab orang tualah yang paling tahu tentang diri anak dibandingkan dengan sumber data lainnya.

Keuntungannya, konselor dapat memperoleh data untuk melengkapi dan mengecek kebenaran data yang diperoleh dari konseli, misalnya tentang kegiatan belajar konseli di rumah, aktivitas yang biasanya dilakukan konseli pada sore dan malam hari.

Kelemahannya adalah pada umunya orang tua cenderung tidak memberikan keterangan yang sebenarnya atau sengaja tidak memberikan keterangan mengenai anaknya karena merasa malu. Hal ini terjadi terutama jika keadaan atau tingkah laku anaknya cenderung negatif. Misalnya orang tua memberi keterangan tentang kesibukan anaknya di rumah yang sering membantu mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu dan mengepel, mencuci motor, membersihkan taman. Orang tua melakukan hal tersebut sebagai counter (balikan) kepada konselor yang menginformasikan kepada orang tua misalnya tentang konseli yang sering melanggar tata tertib di sekolah. Kejadian yang sebenarnya terjadi di rumah adalah mungkin saja konseli tersebut memang tidak tertib dan cenderung menentang orang tua. Tetapi pada saat konseli ”terancam” karena perilaku negatifnya di sekolah, muncullah naluri orang tua untuk berusaha melindungi anaknya.

Upaya yang perlu dilakukan oleh konselor antara lain dengan menjalin kerja sama yang baik antara sekolah dengan orang tua. Caranya antara lain dengan mengadakan temu muka antara sekolah (khususnya staf BK) dengan orang tua secara periodik (setiap semester atau setahun sekali pada saat penerimaan raport).

Dengan pertemuan secara periodik dan terjadwal, paling tidak dapat dihindari anggapan bahwa orang tua dimintai keterangan hanya kalu anaknya bermasalah dengan sekolah. Pada pertemuan tersebut dapat saling tukar informasi tentang perkembangan anak, baik di rumah mau pun di sekolah; sehingga dapat dilakukan layanan yang sesuai dalam rangka mencapai perkembangan anak yang optimal.

c. Guru dan staf sekolah. Sebagaimana orang tua, guru dan staf sekolah merupakan sumber data sekunder yang cukup dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sebab mereka lebih mengenal peserta didik, khususnya dalam hal yang berkaitan dengan kegiatan dan prestasi akademiknya.

Keuntungannya adalah dapat menghimpun data akademik siswa (konseli), baik waktu lampau (di sekolah atau di kelas sebelumnya), sekarang, dan cita-cita pendidikan mau pun kariernya yang akan datang.

Kelemahannya, tidak semua guru dan/atau staf sekolah mengetahui dan mempunyai data tentang konseli.

Untuk mengatasi kelemahan ini konselor dapat mengupayakan antara lain memanfaatkan mekanisme kerja organisasi bimbingan dan konseling secara maksimal, sehingga guru dan staf sekolah yang merupakan komponen dari organisasi bimbingan dan konseling dapat membantu pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling, khususnya dalam mengumpulkan dan mengadministrasikan data siswa untuk pemahaman individu.

d. Saudara dan teman sekolah. Saudara dan teman sekolah merupakan sumber data sekunder yang dapat memberikan keterangan tentang konseli, terutama tentang hal-hal yang tidak diketahui atau disembunyikan dari orang tua dan guru, misalnya teman dekatnya, pacarnya, kebiasaannya, cita-cita dan keinginannya. Saudara dan teman sekolah sering lebih dipercaya konseli untuk mengungkapkan isi hatinya, oleh karena konseli menganggap bahwa mereka itu karena sebaya dan senasib lebih dapat menghayati apa yang dirasakan dan dialaminya, dan yang paling penting mereka ini cenderung tidak suka mencela dan menyalahkan.

Keuntungannya, konselor dapat memperoleh data khusus yang kadang dengan sengaja disembunyikan kepada orang tua dan guru sebagaimana sudah disebutkan dalam contoh di atas.

Kelemahannya, kadang mereka dengan sengaja menutupi atau memberikan keterangan yang tidak sebenarnya karena perasaan senasib (solidaritas).

Upaya yang dapat dilakukan oleh konselor antara lain dengan menciptakan rapport (hubungan baik) dengan mereka, sehingga mereka mau membantu memberikan informasi yang sesuai demi untuk membantu mengatasi masalah konseli.

e. Lingkungan. Lingkungan yang dimaskudkan adalah lingkungan di luar keluarga dan di luar sekolah. Lingkungan juga merupakan sumber data sekunder yang dapat memberikan informasi yang mungkin tidak kita peroleh di keluarga atau sekolah. Yang termasuk dalam lingkungan ini antara lain organisasi pemuda, karang taruna, asosiasi remaja masjid/gereja, dokter, rumah sakit/puskesmas, kepolisian, tokoh masyarakat.

Keuntungannya, konselor dapat melengkapi data yang tidak diperoleh di dalam keluarga dan/atau sekolah, misalnya teman akrabnya dalam organisasi pemuda, kedudukannya dalam organisasi pemuda – karang taruna – remaja masjid/gereja, pernah terlibat urusan kepolisian – penyalahgunaan narkoba – tawuran antar pelajar – perilaku kriminal lainnya, sakit yang pernah diderita dan keterangan pernah dirawat inap di rumah sakit ataukah tidak.

Kelemahan sumber data ini adalah tidak dapat memberikan gambaran secara langsung mengenai diri konseli.

Untuk mengatasi kelemahan tersebut, konselor antara lain dapat berupaya menjalin kerja sama antar lembaga/instansi, sehingga lingkungan dapat memberikan keterangan tentang konseli yang cukup memadai jika suatu waktu dibutuhkan. Kerja sama tersebut antara lain berupa bakti masyarakat, pameran karya siswa, PMR, KSR, PKS, SAR.

Dari uraian-uraian di muka, dapat disimpulkan bahwa masing-masing sumber data mempunyai keuntungan dan kelemahan, sebab dari satu sumber data hanya dapat diperoleh data tertentu saja. Oleh karena itu seyogyanya konselor memanfaatkan semua sumber data yang ada dengan sebaik-baiknya agar dapat memperoleh data tentang konseli secara lengkap, utuh, dan menyeluruh.

Inventarisasi data pribadi yang lengkap, utuh, dan menyeluruh hendaknya dilakukan setiap saat secara terus menerus sesuai dengan kebutuhan (program harian, mingguan, bulanan, semesteran, tahunan) agar dapat diperoleh data yang up to date. Sebab dari data yang diperoleh, mungkin saja konselor dapat mengidentifikasi sumber masalah, dan memperoleh sumber inspirasi untuk memecahkan masalah konseli.

Jenis data dan unsur-unsurnya yang perlu dikumpulkan dan dihimpun oleh konselor adalah sebagai berikut:

1) Identitas konseli, meliputi unsur-unsur: nama, nomor induk/absen, kelas, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, kegemaran, suku bangsa, agama, alamat, tanggal masuk sekolah, bahasa sehari-hari di rumah, anak keberapa dalam keluarga.

Sumber masalah dapat berasal dari data ini, misalnya konseli sebagai anak tunggal yang di rumah memperoleh perlakuan yang serba enak --- walaupun sudah kelas II SLTP sepatu dipakaikan pembantu, makan disuapi ibunya sambil dipakai sepatu, semua kebutuhan disiapkan oleh pembantu yang berjumlah tiga orang, semua keinginan dan kata-katanya selalu dituruti oleh orang tua dan pembantu-pembantu rumah tangganya. Di sekolah ia pun minta diperlakukan demikian oleh teman-temannya. Tentu saja teman-temannya tidak mau, sehingga timbul masalah serius dengan teman-temannya: dikucilkan, tidak ada yang mau bergaul dengannya, tidak ada yang mau belajar bersama.

2) Identitas orang tua, meliputi unsur-unsur: nama ayah dan ibu, tanggal dan tempat lahir (umur), agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, bahasa sehari-hari.

Sumber masalah dapat berasal dari data ini, misalnya pendidikan dan pekerjaan ayah yang “lebih rendah” dibandingkan ibu menyebabkan anak menjadi rendah diri, karena ayah dan ibu sering bertengkar di rumah yang disebabkan oleh gaji ayah yang lebih kecil dari pada ibu.

3) Keadaan dan latar belakang keluarga, meliputi unsur-unsur: nama masing-masing anggota keluarga, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, jumlah keluarga yang masih hidup dan yang sudah meninggal, pendidikan, pekerjaan, kedudukan dalam keluarga, corak pergaulan keluarga, bahasa sehari-hari yang digunakan, tingkat ekonomi keluarga.

Data ini dapat menjadi sumber masalah, misalnya corak pergaulan keluarga yang sangat terikat dengan tata krama dan cenderung otoriter di mana anak tidak boleh mengeluarkan pendapatnya, menjadikan anak tidak kreatif, apatis, tertutup, dan pendiam. Sebaliknya dapat terjadi anak di sekolah melampiaskan tekanannya di rumah dengan tingkah laku agresif, sering melanggar tata tertib, suka menentang guru dan teman-teman sekolah.

4) Lingkungan sosial, meliputi unsur-unsur: kebersihan lingkungan, letak rumah, taraf hidup masyarakat sekitar, kehidupan beragama, hubungan sosial masyarakat sekitar.

Masalah siswa dapat bersumber dari data ini, misalnya letak rumah yang berhimpitan dengan pabrik tekstil menyebabkan siswa biasa berbicara dengan suara yang keras (kalau tidak berbicara keras tidak mendengar karena kalah dengan suara mesin). Mungkin saja dapat terjadi guru atau temannya tersinggung karena suara siswa yang keras tersebut dikira membentak atau marah.

5) Data psikis yang meliputi:

(a) Aspek intelektual mencakup unsur-unsur: tingkat kecerdasan, bakat khusus, kecepatan reaksi, kapasitas ingatan.

(b) Aspek emosional mencakup unsur-unsur: mudah tidaknya terharu, pendiam, teguh pendirian, suka menyerang pendapat orang lain atau tidak.

(c) Aspek kemauan mencakup unsur-unsur: mudah tidaknya mengambil keputusan, tabah, kesediaan minta bantuan orang lain untuk memperbaiki kekurangan dengan kekuatan sendiri atau tidak, selalu berusaha dengan penuh kepercayaan diri atau tidak.

(d)Aspek kebiasaan meliputi unsur-unsur: kebiasaan hidup sehari-hari, kebiasaan belajar, tata tertib di sekolah, kegemaran dan pengisian waktu luang.

(e) Aspek cita-cita dan aspirasi meliputi unsur-unsur: cita-cita kelanjutan studi, pekerjaan, kehidupan yang akan datang.

Masalah siswa sering terjadi juga dari data ini, misalnya ia tidak merasa susah dengan nilai rata-rata yang selalu rendah dibandingkan teman-teman sekolahnya, dan ia tidak ada kemauan yang kuat untuk meningkatkan diri.

6) Prestasi belajar, meliputi unsur-unsur: nilai-nilai ulangan, nilai kegiatan ekstra kurikuler, nilai ujian, prestasi yang menonjol dan prestasi yang kurang (di dalam dan di luar sekolah).

Siswa yang sering aktif dalam olahraga di luar sekolah mungkin saja berprestasi dan membawa nama sekolah, tetapi di sisi lain guru-guru mata pelajaran sering sebal dengan hasil belajarnya yang amburadul dan siswa tersebut nampak tidak ada usaha untuk meningkatkan hasil belajarnya.

Data pendidikan, meliputi unsur-unsur pendidikan sejak dari taman kanak-kanak sampai sekarang yang mencakup: tahun pertama kali masuk di setiap jenjang sekolah, pernah tinggal kelas atau tidak dan di kelas berapa, tahun lulus, lamanya sekolah di tingkat pendidikan tersebut. Selain itu juga perlu dicatat kursus-kursus dan latihan keterampilan yang pernah dan atau sedang diikuti dan hasil yang dicapainya.

Masalah siswa yang berasal dari data ini antara lain masuk sekolah terlalu muda usia padahal kecerdasannya biasa-biasa saja, sehingga siswa sebenarnya belum matang, akibatnya tidak naik kelas dan prestasi belajarnya rendah.

7) Data kesehatan jasmani, meliputi unsur-unsur: berat dan tinggi badan, kesehatan mata, kulit, gigi dan THT, sikap dan bentuk, kebersihan tubuh, penyakit yang sering diderita, penyakit kronis yang pernah diderita, pernah diopname di rumah sakit atau tidak, dokter yang biasa merawat, data perawatan dokter.

Siswa dapat diidentifikasi bermasalah mungkin saja bersumber dari data ini, misalnya sering tidak masuk karena sering sakit, dan pada umumnya kesehatannya kurang baik.

Berbagai macam data yang diperoleh konselor dari berbagai sumber data, diperoleh dengan menggunakan alat dan teknik pengumpulan data non-testing dan testing, yang dalam kegiatan bimbingan dan konseling Pola 17+ dikenal sebagai aplikasi instrumentasi bimbingan dan konseling.

4. Alat Penyimpan Data

Data tentang siswa yang diperoleh dari berbagai sumber data perlu disimpan dengan baik dan sistematis agar mempermudah bila sewaktu-waktu diperlukan untuk keperluan pelayanan bimbingan dan konseling kepada siswa. Alat penyimpan data tersebut dapat bersifat individual yaitu untuk setiap siswa satu alat penyimpan data, dan dapat pula bersifat kelompok, misalnya menurut jenis kelamin, kelas, jurusan, permasalahan yang dihadapi dan sebagainya (Surya & Natawijaya, 1997:319-320).

Alat-alat penyimpan data sebagaimana dimaksud di atas, baik yang bersifat individual mau pun kelompok dapat berupa:

a. Kartu.

Kartu ini bentuknya hanya satu lembar (baik terdiri atas satu halaman atau dua halaman). Seyogyanya dibentuk sedemikian rupa dengan warna dan ukuran tertentu, sehingga mudah untuk disimpan dalam filing cabinet. Kartu ini digunakan untuk mencatat data siswa dalam aspek-aspek tertentu, misalnya kesehatan, absensi, data sosiometris, kejadian-kejadian khusus.

b. Folders

Folders, bentuknya hampir sama dengan kartu tetapi dapat dilipat menjadi empat halaman. Folders ini juga untuk mencatat data siswa sebagaimana dengan kartu, hanya memungkinkan memuat catatan data yang lebih banyak dan lebih lengkap. Seperti halnya dengan kartu, folders ini pun dapat dibentuk dalam berbagai warna dan ukuran, sehingga dapat disimpan dengan tertib dalam filing cabinet.

c. Booklets

Booklets merupakan suatu buku kecil yang lembarannya terdiri dari empat halaman, sehingga dapat mencatat data lebih luas yang meliputi aspek-aspek khusus: nilai-nilai hasil belajar, kegiatan ekstra kurikuluer, kegiatan kelompok, dan sebagainya

d. Map

Map digunakan untuk menyimpan data tertentu yang tidak dapat tersimpan dalam alat seperti tersebut di atas. Dalam map disimpan salinan STTB, surat keterangan dokter, biografi, catatan harian, hasil wawancara konseling, angket siswa, angket orang tua, hasil kunjungan rumah, dan sebagainya.

Map ini dapat dibuat untuk setiap murid (individual) ataupun kelompok (klasikal) misalnya setiap kelas ada satu map tersendiri: hasil wawancara konseling, angket siswa, catatan anekdot.

e. Cummulative record (buku pribadi)

Data tentang siswa yang harus dicatat dan disimpan sangat banyak, karena itu perlu suatu alat pencatatan yang menampung seluruh aspek data murid yang lengkap. Alat tersebut disebut cummulative record atau buku pribadi, dan bentuknya berupa buku. Semua data tentang siswa, dicatat dalam buku pribadi ini. Setiap siswa dicatat datanya dalam satu buku pribadi, satu buku pribadi hanya untuk satu siswa.

f. Komputer

Alat penyimpan data sebagaimana diuraikan pada poin a sampai d merupakan alat-alat konvensional, maka sekarang ini komputer seharusnya digunakan oleh setiap konselor sebagai alat penyimpan data. Karena komputer dengan berbagai asesorisnya seperti hard disk, compact disk (CD), flash disk dapat menggantikan peran alat-alat konvensional dengan lebih sempurna, misalnya cumulative record atau buku pribadi siswa satu sekolah dapat disimpan dalam satu CD dengan demikian tidak memerlukan banyak almari atau filing cabinet sebagai penyimpan buku pribadi, di samping itu komputer dapat mengolah dan menyajikan data secara tepat dan akurat baik dalam bentuk hard copy (cetakan) maupun soft copy.

5. Teknik Memahami Individu

Pada awal bab ini telah dijelaskan bahwa pemahaman individu didasarkan atas informasi atau keterangan tentang diri individu yang akurat dan sahih. Data pribadi yang tidak akurat dapat menimbulkan pemahaman yang keliru, sehingga dapat menyesatkan. Pelayanan bimbingan dan konseling bermaksud membimbing konseli agar memahami dirinya secara positif dan dinamis, sehingga dapat mengambil keputusan yang sesuai dengan keadaan dirinya. Konselor mempunyai peranan penting dalam membantu siswa untuk memahami dirinya. Berbagai macam data tentang individu dapat dikumpulkan oleh konselor dengan menggunakan berbagai instrumen atau alat pengumpul data, baik yang termasuk teknik non tes mau pun teknik tes.

Dalam bimbingan dan konseling Pola 17+, kegiatan pengumpulan data ini dikenal dengan istilah aplikasi instrumentasi bimbingan dan konseling, dan termasuk dalam kegiatan pendukung. Namun demikian bukan berarti bahwa kegiatan pengumpulan data tidak penting karena hanya sebagai kegiatan pendukung. Dapat dikatakan bahwa kegiatan layanan bimbingan dan konseling yaitu layanan orientasi, informasi, penguasaan konten, penempatan/penyaluran, konseling perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok, konsultasi, dan mediasi; dapat berjalan dengan baik karena didukung oleh himpunan data yang diperoleh dengan aplikasi instrumentasi bimbingan ini.

Kegiatan pendukung pada umumnya tidak ditujukan secara langsung untuk memecahkan atau mengentaskan masalah konseli, melainkan untuk memungkinkan diperolehnya data dan keterangan lain serta kemudahan-kemudahan atau komitmen yang akan membantu kelancaran dan keberhasilan kegiatan layanan terhadap konseli (Anonim, 1995a:30, Prayitno & Amti, 1999).

Aplikasi instrumentasi bimbingan dan konseling merupakan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling untuk mengumpulkan data dan keterangan tentang peserta didik (konseli), keterangan tentang lingkungan peserta didik, dan “lingkungan yang lebih luas”. Pengumpulan data yang yang dimaksudkan untuk memahami individu, dalam buku kesatu ini adalah berbagai instrumen yang menggunakan teknik non tes.

F. Rangkuman

1. Inventarisasi data pribadi adalah kegiatan atau usaha pengumpulan data mengenai konseli secara utuh dan menyeluruh baik fisik mau pun psikis.

2. Dalam hubungannya dengan kontinuitas inventarisasi data pribadi, ada tiga dasar pikiran yang harus dipertimbangkan oleh konselor, yaitu (a) konseli sebagai individu yang sedang mengalami perkembangan, (b) konseli sebagai individu yang berpribadi, merupakan satu kesatuan atau totalitas dari fisik dan psikis, dan keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. (c) konseli sebagai individu juga sebagai anggota masyarakat, baik masyarakat keluarga, masyarakat sekolah, mau pun masyarakat yang lebih luas.

3. Konselor harus memahami beberapa aspek pribadi individu yaitu perkembangan individu, perbedaan individu, kebutuhan individu, penyesuaian individu, dan kepribadian individu. Berbagai aspek yang dapat mempengaruhi perkembanan dirinya, baik fisik mau pun psikis.

4. Sumber data pribadi yang dapat memberikan keterangan tentang konseli adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah konseli yang bersangkutan, sedangkan sumber data sekunder terdiri dari orang tua, guru dan staf sekolah, saudara dan teman sekolah, serta lingkungan.

5. Konselor dalam rangka memahami individu hendaknya mengumpulkan berbagai jenis data beserta unsur-unsurnya, yaitu (a) identitas konseli, (b) identitas orang tua, (c) keadaan dan latar belakang keluarga, (d) lingkungan sosial, (e) data psikis, (f) prestasi belajar, (g) data pendidikan, (h) data kesehatan jasmani

6. Data tentang individu yang diperoleh dari berbagai sumber data harus disimpan agar sewaktu-waktu diperlukan untuk kepentingan individu dapat diakses secara mudah. Alat penyimpan data yang umumnya digunakan adalah kartu, folders, booklet, map, cummulative record, dan perangkat komputer.

7. Pemahaman individu dapat dilakukan konselor dengan dua cara yaitu dengan teknik non tes dan teknik tes.

G. Tes Formatif

1. Kemukakan alasan Saudara, mengapa setiap konselor harus melakukan inventarisasi data pribadi?

2. Lakukan pengamatan terhadap anak balita yang dekat dengan tempat tinggal Saudara. Pelajari perkembangan anak tersebut melalui orang tuanya, buat laporan dan simpulan Saudara mengenai perkembangan fisik dan psikisnya!

3. Kemukakan alasan Saudara, mengapa untuk memahami seorang individu disarankan agar konselor memperoleh data dari berbagai sumber data?

H. Daftar Pustaka

Anonim. 1995a. Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Buku I Panduan Umum Pelayanan Bimbingan dan Konseling.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor. Tersedia di http://www.scrib.com/doc/8695600/ STANDAR-KUALIFIKASI-KADEMIK-DAN-KOMPETENSI-KONSELOR. diunduh 4 Januari 2009.

Goble, F.G. 1998. Madzab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Cetakan ketujuh. Terjemahan A. Suoratiknya. Yogyakarta: Kanisius.

Kartono, K. 1983. Kesehatan Mental (Mental Hygine). Bandung: Alumni.

Munandar, S.C.U. 1992. Mengembangkan bakat dan Kreativitas Anak Sekolah (Petunjuk Bagi Guru dan Orang Tua). Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Munandir. 2001. Ensiklopedi Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang.

Prayitno. 1987. Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta: Depdikbud. P2LPTK.

Prayitno & Amti, E. 1999. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.

Rahardjo, S. 2007. Pemahaman Individu I. Kudus: Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus.

Rosyidan. 1989. Prospek Bimbingan dan Konseling di Masa Yang Akan Datang: Ditinjau dari Permasalahan Pendidikan. Bina Bimbingan”Media Psikologi Pendidikan Bimbingan” Edisi Th. III No. 4-1989. Malang: Jurusan PPB FIP IKIP Malang.

Suryabrata, S. 1983. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Press.

Surya, M & Natawidjaja, R. 1997. Pengantar Bimbingan dan Penyuluhan. Materi Pokok DKEP2211/2SKS/Modul 1-6. Jakarta: Universitas Terbuka.

Suzuki, S. (1993). Mengembangkan Bakat Sejak Lahir. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar: